Depok (Metrobali.com)-

Pemerintah berkeras bahwa melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS belakangan ini tidak ada kaitannya dengan rencana kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi, tetapi lebih diakibatkan tekanan global di mana dolar AS menguat terhadap berbagai mata uang dunia.

Kepala Grup Neraca Pembayaran Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI), Doddy Zulverdi menyebutkan, selain rupiah, mata uang negara lain pun melemah terhadap dolar AS.

“Sepanjang April dan Mei rupiah terus melemah terimbas oleh kuatnya dolar AS,” katanya.

Menteri Keuangan Chatib Basri menegaskan, tidak ada kaitan antara rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dengan pelemahan rupiah. Walaupun demikian, dia memastikan harga BBM subsidi pasti naik. “Saat ini pemerintah sedang sosialisasi dan mempersiapkan untuk memberi kompensasi.” Chatib mengaku bersama Gubernur BI Agus Martowardojo dan Kementerian BUMN, telah mengambil langkah-langkah untuk menjaga stabilitas rupiah. “Pelemahan rupiah ini hanya sementara saja,” katanya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menepis anggapan bahwa melemahnya nilai tukar rupiah adalah karena ketidakpastian terkait kenaikan harga BBM bersubsidi. “Pelemahan rupiah terjadi karena pengaruh global yang juga terjadi pada negara-negara lain di kawasan Asia seperti Jepang, Hongkong, Thailand dan Singapura,” katanya.

“Pemerintah, Bank Indonesia, kemudian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan juga Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terus bekerja untuk mengelola rupiah dalam forum stabilitas sistem keuangan,” ujar Presiden Yudhoyono.

Dalam anggaran negara 2013, pemerintah mengasumsikan nilai tukar rupiah sebesar Rp9.300 per dolar Amerika. Belakangan ini nilai tukar rupiah sempat berada di kisaran Rp10 ribu.

Sementara itu menurut Kepala Grup Neraca Pembayaran BI, Doddy, selain karena penguatan dolar AS, pelemahan nilai tukar rupiah juga dipicu oleh naiknya impor BBM yang dilakukan oleh Pertamina. “Impor BBM yang besar membuat neraca perdagangan defisit dan menekan kebutuhan valuta asing dalam negeri,” kata dia.

Kondisi kebutuhan valas saat ini mulai meningkat, namun dari sisi keuangan pasokan valas di pasar domestik tidak terlalu banyak. Hal ini menyebabkan para investor mulai mengurangi investasi ke Indonesia. “Investor asing tidak panik cuma mengurangi jumlahnya. Mereka masih tetap berani masuk tapi tidak terlalu besar,” katanya.

Sedangkan dari sisi investasi, penurunan impor barang modal ternyata juga masih memberikan tekanan pada nilai tukar karena neraca perdagangan masih defisit. Penurunan impor barang modal menunjukkan melambatnya investasi.

Kebijakan BI dalam memperbesar pasokan valuta asing untuk pembayaran impor minyak dikabarkan menyebabkan transaksi modal dan finansial mengalami defisit 1,4 miliar dolar AS.

Guna meredam kuatnya tekanan depresiasi rupiah selama triwulan I-2013, BI memutuskan untuk mengambil alih penyediaan sebagian besar kebutuhan valas untuk pembayaran impor minyak dari perbankan domestik.

“Kebijakan ini berhasil mengurangi permintaan di pasar valas dan meredam tekanan depresiasi rupiah, sehingga memberikan ruang kepada perbankan domestik untuk menambah simpanan valas mereka,” kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Difi A Johansyah.

Terjadinya defisit pada transaksi modal dan finansial lebih karena meningkatnya aset valas bank, bukan karena adanya arus keluar investasi asing. Dalam periode tersebut, nilai pembelian surat-surat berharga berdenominasi rupiah, seperti surat utan negara (SUN) dan saham, oleh investor asing secara keseluruhan justru lebih besar dibanding triwulan sebelumnya.

Faktor internal dan eksternal Sementara itu pengamat ilmu ekonomi dari Universitas Indonesia, Rusan Nasrudi menilai melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS hingga sempat di atas level Rp10 ribu per dolar secara psikologis merupakan yang terparah sejak 2009.

“Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi jika Bank Sentral (BI) meningkatkan kepeduliannya. Pemerintah harusnya sudah memonitor hal ini,” katanya.

Dia juga berpendapat, melemahnya nilai rupiah terhadap dolar itu dapat dipicu oleh faktor eksternal dan internal. Faktor internal antara lain turunnya harga logam mulia dan melorotnya bursa regional. Sedangkan faktor eksternal adalah perbaikan perekonomian di Amerika Serikat.

“Ini mau tak mau membuat investor lari. Amerika saat ini dalam posisi superior. Karena itu harus ada pemberian fiskal di dalam negeri yang tepat,”ujarnya.

Rusan juga menuding isu kenaikan harga BBM bersubsidi memberi dampak terhadap melemahnya nilai rupiah. Karena itu dibutuhkan ketegasan secara politik di tingkat parlemen.

Namun demikian, dia menilai penurunan impor sedikit banyak memperbaiki neraca perdagangan, menaikkan tingkat suku bunga sejalan dengan pengendalian inflasi.

Analis dari kantor sekuritas Valubury Asia, Nico Omer Jonckheere berpendapat, pengusaha merupakan kelompok yang paling cepat terkena dampak akibat fluktuasi nilai tukar mata uang.

Meski melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berdampak negatif terhadap kegiatan impor, namun positif pada kegiatan ekspor.

Namun dia mengakui, sulit mengantisipasi fluktuasi nilai tukar mata uang karena dapat terjadi setiap saat yang disebabkan oleh faktor global maupun dalam negeri. Orang menginginkan mata uang itu kuat kan karena daya belinya masyarakat akan naik. Pengusaha yang melakukan bisnis apalagi ekspor-impor, pasti tahu resikonya. Pelemahan nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS diperkirakan akan semakin memberatkan beban subsidi BBM dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Dengan rupiah yang terus dihantam dolar, kurs jadi mahal, biaya impor juga jadi mahal. Itu yang menjadikan subsidi BBM mahal,” ujar pengamat ekonomi dan pasar modal, Yanuar Rizky.

Dia menyebutkan, saat ini masih ada salah pengertian di masyarakat bahwa proses kebijakan kenaikkan harga BBM membuat kurs rupiah melemah terhadap dolar AS. “Padahal yang terjadi justru sebaliknya. Jadi jangan dibalik-balik mana penyebab, mana akibat,” katanya.

Saat ini saja beban subsidi BBM dalam APBN 2013 hampir mencapai Rp200 triliun dan angka itu akan terus membengkak seiring dengan pelemahan nilai rupiah terhadap dolar AS, karena impor BBM yang tinggi sangat tergantung pada transaksi pembayaran dengan menggunakan dolar.

Untuk kembali menguatkan rupiah, dia menunjuk saran yang diberikan BI. “Biarkan pasar valas liar seperti sekarang. Tetapi pihak yang mau impor pangan dan energi harus ambil valas murah di BI. Jadi, fokus saja jangan sebar di pasar. Dengan kata lain ide operasi langsung ditunjang oleh valas murah BI.” Dia mengambil contoh, jika ada inflasi di masyarakat karena nilai tukar rupiah, BI akan memberikan valas yang misalnya dibelina di kisaran Rp8.700-Rp8.800 per dolar. Biarkan asumsi nilai tukar rupiah di APBN Rp9.600, BI jual ke Pertamina Rp9.500 kan masih untung. Jadi, pasar valas dibiarkan karena kita lakukan operasi langsung.” Menurut Yanuar, ide ini akan cukup menolong importir pangan dan energi seperti Pertamina. Tapi hati-hati, Pertamina dan importir pangan jangan jadi alat rente pasar uang Karena itu dia meminta kabinet mendukung hal-hal seperti ini agar nilai tukar rupiah menjadi kuat. “Bahkan, tanpa pengurangan subsidi BBM,” katanya.

Semua pihak termasuk Menko Perekonomian Hatta Rajasa berharap, rupiah melemah hanya untuk sementara waktu dan akan kembali menguat, karena sebetulnya kebijakan fiskal dan makro moneter dilakukan dengan baik oleh Bank Indonesia. INT-MB