Denpasar, (Metrobali.com)

Menarik menyimak pidato Presiden ke 8, Prabowo Subianto dalam Sidang Perdana Kabinet, pasca dilantik beberapa hari sebelumnya.

“Pidato dalam rumusan, narasi, tegas dan visioner itu, dapat mengingatkan kita akan inti sari idealisme pemikiran pendiri bangsa yang kemudian terjabarkan dalam Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya,” kata Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik dan kecenderungan masa depan.

Dikatakan, dalam pidato perdana ini, yang diharapkan historik ini, dalam ungkapan sederhana, Presiden yang baru terpilih ini, menawarkan kepada anggota kabinetnya, elite kepentingan bangsa ini dan juga warga bangsa, menawarkan paradigma baru kekuasaan: MELAYANI PUBLIK UNTUK KESEJAHTERAAN UMUM. Paragdima kekuasaan, yang lahir dari idealisme pendiri bangsa.

Mari kita simak isi pidato tersebut untuk mengkonfirmasi dari paradigma kekuasaan yang ditawarkan.

Pertama, pendidikan dan kesehatan, merupakan fokus utama kabinetnya, untuk peningkatan kualitas manusia Indonesia, Dalam bahasa Prabowo, Indonesia boleh bangga menjadi anggota G20, tetapi kalau rakyatnya miskin, kebanggaan itu nyaris tidak berguna.

Kedua, kekayaan sumber daya alam harus dikelola lebih baik, untuk kemakmuran sebanyak-banyaknya rakyat. Dari pernyataan ini, publik memperoleh impresi, kebijakan kabinet Merah Putih, akan melakukan koreksi terhadap pengelolaan sumber daya alam yang amat sangat menguntungkan belasan pengusaha oligarki.

Ketiga, reformasi akan dilakukan lebih radikal dalam perspektif pelayanan, menurut bahasa Prabowo, birokrasi kita ribet dan bertele-tele, dengan mengutip kritik bernada satire: “kalau bisa dibuat ribet, kenapa dibuat mudah”. Pernyataan menohok dari sang Presiden.

Keempat, program makan siang bergizi untuk meningkatkan kualitas SDM harus didukung oleh seluruh jajaran kabinet, bagi yang tidak mendukung, dipersilahkan mengundurkan diri.

“Program yang akan menjadi “test case” awal dari pembumian cita-cita proklamasi tentang mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum, sekaligus menyimak keseriusan dalam pelaksanaan pasal 35 UUD 1945: “Fakir Miskin dan Anak-anak Terlantar Dipelihara negara”.

Kelima, ketahanan pangan dan energi, merupakan kebutuhan bangsa yang sangat mendesak, dalam dunia dengan bayang-bayang perang nuklir, bisa membuat kelangkaan pangan dan energi yang mengancam keselamatan bangsa.

“Ulasan dan prediksi Presiden sangat tepat, di tengah ketergantungan bangsa terhadap impor pangan dan energi yang terus membesar,” kata I Gde Sudibya.

Keenam, pendidikan, sebagaimana diamanatkan konstitusi, untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan memajukan kesejahteraan umum, yang diberikan penekanan kuat oleh Presiden. Menggambarkan komitment kuat Presiden terhadap isu sepenting dan segenting ini.

Dikatakan, Pemikiran orisinil Prabowo di atas, mirip, “beririsan” dengan pemikiran politisi partai sosialis di tahun 1950’an, dengan sejumlah tokohnya, menyebut beberapa: Soetan Sjahrir, Soemitro Djojohadikusumo, Soedarpo Sastroutomo, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar.

Menurutnya, tawaran paradigma baru kekuasaan, yang melayani untuk kesejahteraan umum, menarik disimak dan dicermati, dalam kultur politik yang “becek”dewasa ini, politik sebagai instrumen dalam industri kekuasaan yang cendrung salah guna -power tend to corrupt-, korupsi yang telah menjadi “budaya”, proses demokrasi yang transaksional, dalam bahasa Prof.Emil Salim “demokrasi oleh para cukong”.

Dikatakan, dalam filsafat sering tertulis, sejarah telah mengetuk “pintu” perubahan, lahir kesempatan emas kesejarahan bagi Prabowo untuk menguak tabir perubahan, dengan paradigma baru kekuasaan yang ditawarkan. (Sutiawan)