Tantangan Merawat Tradisi, Pasca Bali 50 tahun Mengalami Transformasi Sosial Ekonomi
Ilustrasi : Konflik Adat di Bali di masa yang akan datang akan semakin meningkat. Ini patut diantisipasi oleh pemimpin Bali di masa depan.
Oleh : Jro Gde Sudibya
Sejak pemerintahan Orde Baru, Bali telah 50 tahun mengalami transformasi sosial ekonomi secara berkelanjutan, pada era pemerintahan yang menggunakan jargon sebut saja “Pembangunan yes, politik no”.
Sekarang, di sana sini timbul fenomena: “politik yes, pembangunan no”. Modernisasi yang berlangsung selama 50 tahun di Bali, kombinasi dari strategi pembangunan model Orde Baru plus modernisasi deras industri pariwisata dengan kekuatan modalnya, sebut saja kapitalisme pariwisata, telah melahirkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional dalam dasa warsa 1970’an dan 80’an. Sebagian masyarakat merasakan kemanfaatan dan kenikmatan ekonomi dari pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, standar ekonomi sebagian masyarakat meningkat, transformasi sosial ekonomi berlangsung.
Namun demikian, biaya sosial kulturalnya juga tidak kecil, masyarakat menjadi materialistis dan individualistis, solidaritas sosial merosot, ketegangan terjadi di mana-mana termasuk di keluarga inti. Kualitas kepeminpinan di semua lini merosot tajam, tidak bisa lagi menjadi panutan, lingkungan alam rusak, konflik internal semakin tajam tidak saja menyangkut kepentingan ekonomi, tetapi bernuansa keagamaan, keimanan.
Singkat kata, modernisme dan globalisme nyaris meluluh-lantakkan bangunan sosial kutural masyarakat Bali (kalau kita mau jujur mengakuinya).
Timbul pertanyaan, apa yang salah dalam proses modernisme selama 50 tahun terakhir ini di Bali?.
Menjadi surprise menyimak kehidupan di sejumlah desa di Bali pegunungan yang mampu secara ketat nan ajeg menjaga tradisinya, mulai dari sistem kolektif kepemimpinan (sistem peduluan), ala ayuning dewasa, simbol upakara, uncaran doa oleh Jro Bayan, Jro Bau, Pemangku Jan Bangul Ida Bhatara, sesana/dharma kriya prilaku, kearifan dalam mengelola alam untuk kebersahajaan dan kesederhanaan kehidupan. Melahirkan sikap otentik tentang kejujuran, respek dan setia pada Peduluan sebagai pemimpin, merawat alam yang merupakan bagian dari dharma kehidupan. Sangat jauh dari prilaku materialistik apalagi serakah, membangun harmoni tanpa kehilangan kebanggaan diri yang wajar, tabu untuk menjual tanah/pekarangan yang merupakan amanah leluhur. Tidak menolak perubahan dalam koridor tradisi yang telah terbukti menyelematkan dan memberikan tuntunan benar sepanjang sejarahnya.
Menyimak kekuatan tradisi ini dalam menangkal dampak negatif modernisme, merujuk jargon populer untuk penyelamatan lingkungan “Back to Nature”, kita bisa juga memasyarakatkan tema dengan nilai “Back to Great Tradition”, untuk Bali berbenah ke depan.
Jro Gde Sudibya, Ketua FPD (Forum Penyadaran Dharma).
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.