Ilustrasi

Denpasar, (Metrobali.com)

Luhut Binsar Penjahitan (LBP) lagi-lagi mengumbar “janji surga” di Bali, padahal pemerintahan JW sudah pada posisi “Lamb Duck”, bebek Lumpuh, dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Hal itu dikatakan pengamat politik dan ekonomi I Gde Sudibya, Rabu 5 September 2024.

Dikatakan, sejarah kontemporer negeri ini mencatat, pemerintahan JW secara terang-terangan melanggar pasal 33 UUD 1945, dengan memaksakan berlakunya UU Omnibus Law Cipta Kerja yang super liberal kapitalistik.

Menurutnya, di mana UU Omnibus Law Cipta Kerja ini, sangat memanjakan investor besar, menghapuskan persyaratan amdal, desentralisasi perizinan, liberalisasi kebijakan komoditas pangan, memberikan izin bagi swasta untuk menguasai tanah negara sekurang-kurangnya 30 persen.

“Dan sejumlah dosa politik ekonomi lainnya. Menyebut beberapa, proyek IKN setelah menyerap dana APBN sebesar Rp.70 T, padahal janji awalnya tidak menggunakan dana negara, dan janji (yang kemudian bohong) menggunakan dana investor global,” katanya .

Yang terakhir, lanjutnya, membuat publik marah, konglomerat besar yang mengelola Bumi Serpong Damai dan Proyek Indah Kapuk, ujug-ujug menjadi PSN berarti banyak memperoleh insentif dari pemerintah.

Dikatakan, kelompok super kaya justru mendapat insentif luar dari pemerintah. Padahal ada jutaan UMKM masih tetap “mengap-mengap” akibat pandemi, perusahaan terancam bangkrut akibat
Miprogram restrukturisasi kredit dihentikan.

“Ketidakadilan yang transparan, menusuk hulu hati rasa keadilan rakyat,” katanya.

Menurutnya, pernyataan LBP dan juga Sandiaga Uno memberikan gambaran arogansi kekuasaan yang maunya semena-mena menurut ukurannya sendiri. Ukuran yang mungkin saja dengan motif personal bagi kepentingan bisnisnya.

Dikatakan, bagi mereka, mungkin Bali bisa saja dieksploitasi untuk menurut ukuran dan kepentingannya sendiri, dan menafikan kepentingan krama Bali.

” Barangkali mereka menganggap, pejabat publik di Bali mudah “ditundukkan” dengan kuasa atas nama Jakarta dan teknik negosiasi lainnya.
Cara berpikir eksploitatif, mungkin tidak kalah kejam dibandingkan dengan pemerintahan NICA (Nederland Indie Civil Administration),” katanya.

Bawah sadar mereka, lanjut I Gde Sudibya, barangkali menganggap penguasa Bali bisa diatur dan diarahkan, karena mereka “monoh”, bodoh mudah diatur dan diarahkan. (Sutiawan)