Tanpa Jiwa, Karawitan Bali Jadi Tisu
Denpasar (Metrobali.com)-
Seni kerawitan Bali yang kini berkembang dalam era globalisasi kian mengalami degradasi dan terkikis dari akar tradisi dan tata nilai kekuatan ruh dan taksunya. Tak pelak, seni karawitan Bali yang telah mendunia secara perlahan dan pasti akan kehilangan identitasnya sebagai penguat kebudayaan bangsa berbasis kearifan budaya lokal Bali. Dampaknya, seni karawitan Bali tidak memiliki jiwa sehingga terancam menjadi tisu. Dengan kata lain, seni karawitan Bali sekali pakai, setelah itu dibuang jadi sampah.
Demikian terungkap dalam seminar akademik seni budaya bertajuk Maha Daya Cipta Karawitan Bali di gedung Latha Mahosadhi, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Senin (23/7). Seminar akademik yang dipandu oleh I Kadek Suartaya ini menghadirkan tiga narasumber dari kalangan alumnus ISI Denpasar, di antaranya I Ketut Lanus, dan I Wayan Widia, serta Dewa Ketut Alit.
Dalam kesempatan itu, setiap narasumber secara panjang lebar membeberkan proses kreatifnya dalam menciptakan garapan seni karawitan Bali. Komposer muda I Ketut Lanus mengungkap proses penciptaan karya karawitan perpaduan antara gamelan Bali dalam berbagai kebutuhan baik bersifat festival, ritual keagamaan, dan lainnya.
Kemudian, I Wayan Widia membeberkan tentang proses kreatifnya dalam upaya penciptaan karya seni karawitan Bali dengan memadukan unsur-unsur seni daerah lain di Indonesia. Selanjutnya, Dewa Ketut Alit mengangkat tentang seni karawitan Bali berkolaborasi dengan unsur-unsur musik manca negara.
Rektor ISI Denpasar, Prof. Dr. I Wayan Rai S, berharap seminar akademik seni budaya ini dapat terus berlanjut dalam upaya mengangkat beragam dinamika kehidupan seni budaya Bali secara mendunia dari berbagai sudut pandang empiris para alumnus ISI Denpasar secara periodik. “Demi upaya pelestarian dan pengembangan seni karawitan Bali secara sistemik dan berkelanjutan dari masa ke masa,” harapnya.IJA-MB
1 Komentar
Kalau kita berbicara seni Karawitan tentu di dalamnya ada masyarakat sebagai pelaku, apakah ia memposisikan diri sebagai kompuser, penggiat, bahkan hanya sebagai pendengar yang baik. Dari sisi kompuser (masyarakat) tentu akan mencari perubahan (kebaruan) dalam karya-karyanya (ada unsur kreativitas di dalamnya) yang sangat memungkinkan memunculkan nilai-nilai kekinian. Pertanyaan adalah apakah di dalam mencari nilai kekinian tersebut para kompuser melupakan pijakan karyanya?, sy. rasa tentu tidak. Apalagi Bali yang sudah jelas dari bentuk alat, nada dan teknik pukulan sudah menjadi identitasnya. Dari sisi penggiat, dalam kondisi seperti ini, kadangkala konteknya bisa saja hanya sebagai selingan (hoby) atau kebiasaan karena di Banjarnya ada gamelan, kalau masyarakat ini memiliki nilai musikalisasi yang baik dan bagus tentu ia juga akan mampu menjadi kompuser. Sedangkan dalam ranah pendengar, ini juga menjadi pendidikan tersendiri dari masyarakat. Apakah insan-insan kompuser atau akademisi sudah pernah mengajarkan, bagaimana menjadi pendengar musik yang baik?. Masalah ini menjadi pekerjaan rumah dari semua pihak. Jiwa dan Taksu dalam seni Karawitan Bali, ini juga masih perlu diperdebatkan, karena bentuknya masih abstrak. Orang yang mendapatkan pendidikan musik yang baikpun belum tentu memahami jiwa dan taksu dari seni karawitan itu. Menurut saya biarkanlah para seniman /kompuser berkarya sesuai dengan kebebasannya yang tentunya mereka juga mampu mempertanggungjawabkan karyanya. Sebuah karya seni apapun bentuknya tidak harus dimengerti pada saat karya itu dipertunjukkan di depan publik, dia akan mengalai proses dan akhirnya waktulah yang akan memberikan pemaknaaan atas karya dibuat senimannya. Salam. Kegiatan seminar seperti ini harus terus dilakukan untuk memberikan pencerahan bagi masyarakat pada umumnya.