KRISIS yang semakin akut di Negara maju dewasa ini, khususnya Amerika Serikat mendesak negara berkembang seperti Indonesia untuk patuh dan tunduk pada kepentingan Negara maju ini. Watak mempredasi negara bekas koloni oleh negara “Annex 1”pimpinan Amerika sejatinya tidak pernah hilang. Apalagi pembangunan ekonomi dewasa ini telah memposisikan lingkungan sebagai sumber utama untuk meningkatkan basis produksi. Negara Annex 1 bukannya tidak berusaha keluar dari krisis tersebut.

Solusi ditawarkan tentu saja dengan prinsip tidak menganggu industrialisasi mereka. Salah satu upaya keluar dari krisis adalah mendorong Negara berkembang untuk tetap menyediakan sumberdaya yang murah untuk dieksploitasi, buruh murah terpasang dan pasar bagi industri mereka. Tanah adalah salah satu sumberdaya yang paling penting saat ini.  Tidak penting tanah tersebut berada di Negara mereka, asal basis produksi mereka tidak terganggu.

Lima tahun lalu, Indonesia dihebohkan dengan dikeluarkannya Perpres No.36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum. Perpres ini merupakan tindak lanjut dari National Summit yang merupakan representasi “kepentingan global”. Maka dalam upaya mendukung dan memuluskan jalan investasi modal asing di Indonesia maka pemerintah diminta untuk memastikan tersedianya sumber daya khususnya tanah/lahan siap pakai. Regulasi pun disiapkan untuk menjustifikasi penggusuran dengan dalih “kepentingan umum”.

Secara hukum Perpres saat itu belum cukup dikenal di Indonesia, sengaja dipilih oleh Pemerintah untuk memangkas birokrasi pembahasannya. Pada tahun 2006, Pemerintah kemudian menghaluskan substansi Perpres ini dengan mengeluarkan PP No.65 Tahun 2006. Kini, dengan prinsip yang sama pemerintah kembali mengajukan rancangan kebijakan untuk mengambil alih tanah masyarakat untuk kepentingan umum telah menyiapkan RUU. Dengan judul “pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan”. Kepentingan umum kini hanyalah salah satu bagian dari pembangunan, dan pihak swasta pun dianggap dapat melakukan kegiatan untuk kepentingan pembangunan sehingga diatur juga dalam RUU ini.

Dalam RUU tersebut sangat terlihat watak pemerintahan saat ini yang sangat tunduk atas dominasi dan kepentingan asing. Alasan ini sangat berdasar, implementasi pembangunan untuk kepentingan umum sering melekat pada pemenuhan kebutuhan industri yang jauh dari kemaslahatan publik. Alih-alih untuk mensejahterakan rakyat, justru kesengsaraan yang didapat oleh rakyat. The Economist, majalah mainstream paling bergengsi, pernah menulis, “Pada tahun 2010 ekonomi Indonesia memang tumbuh, tapi sayang sekali, kemiskinan juga tumbuh.” Meskipun pertumbuhan ekonomi diprediksi akan menembus 6,3%, tetapi hal tersebut tidak menciptakan “trickle down effect”.

Fakta lain yang sangat nyata terlihat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2010-2014 di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup, pemerintahan SBY-Boediono masih menempatkan industri ekstraktif sebagai andalan pembangunan ekonomi nasional. Atara lain dengan mendorong peningkatan produksi pertambangan, perkebunan besar, pertanian skala besar dan industri kelautan.

Watak pemerintahan yang fasis saat ini tentu akan menimbulkan penderitaan yang luar biasa pada rakyat. Upaya mempertahankan sumber-sumber penghidupan rakyat akan mengalami masa intimidasi yang sangat luar biasa. Meningkatnya perampasan tanah oleh negara yang diikuti oleh kekerasan terhadap petani, di sektor perkebunan, pertambangan, dan infrastruktur lainnya yang mengatasnamakan pembangunan dan untuk kepentingan umum menjadi potret buram pembangunan di Indonesia. Pada tahun 2010 saja, menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria  telah terjadi 106 konflik tanah. Dengan watak pemerintahan yang fasis dan patuh dan tunduk pada kepentingan global maka wajar rakyat menolak keberadaan RUU Pengadaan Tanah ini.

Dalam terminologi bahasa kepentingan umum dapat dimaknai sebagai sesuatu yang berasal dari uang rakyat (APBN) dan dikelola oleh negara dan diperuntukan untuk rakyat Indonesia. Hal ini juga ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 33. Dalam RUU definisi “kepentingan umum” dan “kepentingan usaha swasta” (pasal 4) jelas sesat dan menyesatkan dan tidak dapat diterima akal sehat. Swasta memiliki ciri dan watak menghisap dan mengkapitalisasi dan memonopoli untuk kepentingan individu atau kelompok. Oleh karena itu pembangunan untuk kepentingan umum haruslah di danai oleh negara, tidak hutang, dikerjakan oleh perusahaan negara dan operasionalisasinya harus dilakukan oleh negara  (tidak dikuasakan kepada perusahaan swasta).

Jika mengacu pada definisi tersebut maka prakteknya selama ini yang dianggap “kepentingan umum” dibiayai swasta atau lembaga penghutang (meskipun melalui APBN), dilakukan oleh swasta dan memberikan keuntungan pada pihak swasta. Ketika suatu kegiatan telah mendapatkan legitimasi sebagai kepentingan umum, maka pihak yang berhak atas tanah diwajibkan melepaskan tanahnya (pasal 6). apabila tidak dapat dianggap sebagai kepentingan umum, maka pengadaan tanah tidak dapat dipaksakan akan tetapi dilakukan secara langsung dan sukarela berdasarkan kesepakatan antara pihak yang berhak dan pihak swasta yang membutuhkan tanah.

Pembangunan mesti terus berlanjut untuk memberikan kesejahteraan dan kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan atas nama kepenting umum dalam pasal 13 RUU ini dapat dikritisi setidaknya dari syarat keadilan ekologis. Konsep keadilan ekologis menurut Flitner (2009), ada dua macam keadilan ekologis. Pertama, keadilan distributif yang menekankan pentingnya akses masyarakat pada benefit atas pemanfaatan sumber daya. Banyaknya konflik nelayan dengan pengelola kawasan konservasi merupakan akibat dari terusiknya keadilan distributif ini. Kedua, keadilan pengakuan yang menekankan pada pentingnya pengakuan terhadap eksistensi keragaman cara masyarakat mengelola alam. Tipe keadilan ini diturunkan dari asumsi bahwa alam adalah hasil konstruksi sosial. Sejarah, pengalaman, dan budaya akan membentuk cara pandang masyarakat terhadap alam, yang mungkin berbeda dengan pandangan para ahli.

Hilangnya ruang hidup dan aset penghidupan di berbagai wilayah tentu fakta yang tidak dapat kita nafikan begitu saja. Sebut saja, pembangunan bandara di Kerta Sari di Majalengka, Tanak Awu di Lombok Tengah, Jalur Trans Sulawesi, Jalur Selatan-Selatan Jawa dan lain sebagainya. Penolakan tersebut dilatar belakangi pada kenyataan semua proyek pembangunan yang sudah ada sebenarnya tidak ada urusan dengan keselamatan, kesejahteraan, dan produktifitas warga setempat. Dan setiap pembangunan tersebut sama sekali tidak mempertimbangkan keseimbangan jasa layanan alam yang ada. Maka jika mengacu pada beberapa prasyarat kondisi diatas maka substansi dalam RUU Pengadaan Tanah tersebut dapat dinyatakan bertentangan dengan kepentingan publik sesungguhnya.

Dalam RUU ini tidak ada jaminan bahwa bangunan kepentingan umum tersebut tidak akan dialih fungsikan, sebagaimana terjadi dalam kasus tukar guling tanah SMP 56 di Jakarta untuk perniagaan dan swastanisasi Taman Nasional. Dalam kasus penggusuran untuk kepentingan Ruang Terbuka Hijau di Rawasari (2007), saat ini lahan tersebut akan dibangun menjadi Real estate.