Foto: Gusti Bagus Wijaya Irawan menunjukkan tanahnya yang diserobot pihak developer digunakan untuk jalan perumahan di Perumahan Tegal Artha yang berlokasi di Banjar Batukandik, Desa Padangsambian Kaja, Kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar.

Denpasar (Metrobali.com)-

Oknum developer nakal kembali berulah merugikan hak warga. Lahan milik Gusti Bagus Wijaya Irawan yang berlokasi di Banjar Batukandik, Desa Padangsambian Kaja, Kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar diduga diserobot oleh oknum developer Perumahan Tegal Artha untuk dijadikan akses jalan menuju proyek perumahan.

Sampai belasan tahun kasus tersebut masih berlanjut tanpa penyelesaian yang jelas dan menimbulkan kerugian besar bagi Gusti Bagus Wijaya Irawan yang akrab disapa Wijaya selaku pemilik tanah yang sah. Pihak developer pun dinilai tidak punya itikad baik menyelesaikan persoalan ini dengan terus mengulur waktu, menyisakan kekecewaan mendalam bagi Wijaya yang merasa dipermainkan. Persoalan ini juga menimbulkan ketidakpastian juga bagi warga perumahan karena mereka tentu terdampak dengan kisruh jalan perumahan yang mereka lalui setiap hari.

Kasus ini bermula sekitar 13 tahun yang lalu ketika Wijaya yang bekerja di salah satu bank swasta nasional Jakarta pulang ke Bali kaget saat mengetahui bahwa tanah miliknya yang diserobot dan sudah dibuldoser oleh pihak developer digunakan sebagai akses jalan ke perumahan yang dibangun oleh pihak developer.

“Saya kaget pas saya pulang dari Jakarta ternyata tanah saya sudah dibuldoser diam-diam oleh pihak developer. Tanah pribadi saya dipakai untuk jalan ke perumahan tanpa sepengetahuan dan izin saya,” terang Wijaya mengenang kejadian tersebut kepada para awak media di Denpasar pada Senin 9 Desember 2024 didampingi Anggota DPRD Kota Denpasar dari Desa Padangsambian Kaja Ketut Ngurah Aryawan.

Tanah yang diserobot oleh pihak developer ini adalah bagian dari tanah waris seluas 22,5 are milik Wijaya. Tanah yang diserobot dipakai jalan dengan lebar 4 meter panjang 50 meter atau kurang lebih dua are.

Tidak terima dengan perlakuan semena-mena pihak developer menyerobot tanahnya, Wijaya 13 tahun lalu berniat melaporkan persoalan itu ke kepolisian, namun dicegah dan dihalang-halangi oleh pihak developer yang menjanjikan akan menyelesaikan persoalan itu dengan damai. Pihak developer merayu agar masalah itu tidak berlanjut ke ranah hukum.

“Sekitar 13 tahun lalu sempat diajak negosiasi. Developer datang ke rumah minta maaf lalu saya diajak makan di sebelah barat Level 21 Denpasar yang sekarang. Developer bilang meminta maaf karena telah membuldoser tanah tanpa sepengetahuan saya. Developer bilang mau pinjam tanah saya sementara untuk dipakai jalan memasukkan barang ke proyek. Setelah selesai katanya tanah saya akan dikembalikan lagi. Waktu itu ada saksi kepala desa dan pegawai developer. Saya iyakan untuk dipinjam dan saya balik ke Jakarta. Tapi akhirnya setelah proyek perumahan jadi, tahu-tahu tanah itu tidak dikembalikan, tetap dipakai jalan perumahan sampai sekarang,” terang Wijaya.

Belasan tahun berlalu, tanah Wijaya tetap digunakan jalan oleh pihak developer tanpa ada kompensi apapun. Sekitar dua tiga tahun lalu Wijaya kembali mencari ke rumah developer untuk menyelesaikan persoalan yang terkatung-katung selama belasan tahun.

“Tapi tetap dia mengulur waktu, tidak mau mengembalikan.Terus saya kejar, dan sampai minta bantuan Kepala Desa Padangsambian Kaja untuk memediasi,” ungkap Wijaya.

Lalu mediasi pun digelar difasilitasi oleh Kepala Desa Padangsambian Kaja dimana developer dipanggil dan warga perumahan juga ikut dipanggil untuk menyelesaikan persoalan secara kekeluargaan. Saat itu ketika mediasi akan berlangsung, sudah berkumpul sekitar 25 orang warga perumahan namun sayangnya developer tidak datang, alasannya ada di Kalimantan. Sampai tiga kali rencana mediasi digelar, ujung-ujungnya pihak developer tidak pernah datang dan hanya menyisakan kekecewaan bagi Wijaya maupun warga perumahan.

“Tiga kali mediasi difasilisi kepala desa gagal terus. Developer tidak pernah datang. Saya dan warga sampai kesal karena persoalan tanah saya yang diserobot sampai saat ini tidak ada penyelesain. Jelas saya sangat dirugikan,” tutur Wijaya.

Namun dirinya bersama warga perumahan tidak menyerah agar mediasi bisa berlangsung. Terakhir rencananya mediasi kembali digelar beberap minggu lalu di Kantor Desa Padangsambian Kaja. Tapi lagi-lagi mediasi gagal berjalan karena developer kembali mangkir dari undangan mediasi.

“Developer diundang tidak datang juga, yang disuruh datang malah makelarnya, kan tidak nyambung. Akhirnya warga perumahan ribut menyayangkan sikap developer. Warga perumahan juga menyadari selama 13 tahun memakai tanah saya untuk jalan tanpa ada kompensasi apapun,” terang Wijaya.

Sikap nakal dan tidak bertanggungjawab develepor ternyata bukan kepada Wijaya saja dengan aksi penyerobotan tanahnya dipakai akses jalan perumahan, kasus serupa juga terjadi kepada beberapa korban lainnya. “Sebenarnya developer ini nakal, termasuk orang BPN juga kena. Dia juga beli tanah buat perumahan dan jalannya masalah dengan orang. Masalahnya hampir sama dengan saya dan yang kena hampir tiga orang. Dia pintar bermain dan selalu menghindar ketika dimintai pertanggungjawaban,” beber Wijaya.

Kekesalan Wijaya pun memuncak, dia akhirnya memilih menempuh jalur hukum untuk mengembalikan hak atas tanahnya yang diserobot developer. Dia kemudian melayangkan laporan lisan ke pihak kepolisian di Polda Bali. Namun laporannya malah ditolak dengan alasan belum cukup bukti dan malah dirinya diminta melampirkan minimal dua alat bukti agar laporannya bisa diproses lebih lanjut.

Dia pun harus melengkapi data dengan mendatangi kantor BPN Denpasar dan dalam prosesnya Wijaya mengaku harus mengeluarkan biaya agar bisa mendapatkan data dan bukti penyebotan tanag miliknya. “Akhirnya saya meminta gambar tanah di BPN Denpasar, mencari data. Lalu saya bawa ke polisi dan dibilang masih kurang. Lalu saya terpaksa pecah tanah ini agar kelihatan ada jalan yang dipakai developer. Jadi saya mau lapor polisi malah mengeluarkan uang,” tuturnya seraya menyangkan betapa ribet dan mahalnya untuk mendapatkan keadilan di negeri ini.

Sebenarnya permintaan Wijaya kepada pihak developer yang telah menyerobot tanahnya sangat sederhana yakni tanah yang diserobot digunakan untuk jalan perumahan agar dikembalikan seperti semula. Atau opsi lain pihak developer memberikan ganti rugi atau kompensasi sejumlah uang kepada Wijaya selaku pemilik tanah yang sah. Dia menuntut kompensasi sebesar Rp 1,4 miliar.

“Saya meminta developer mengembalikan tanah yang dipakai jalan biar kembali ke sertifikat seperti semula atau developer mau memberikan kompensasi atas tanah saya yang diserobot untuk jalan. Kalau dihitung sekarang harga tanah di sekitar disana 700 juta per are dan ada tanah saya yang mau dibeli oleh developer lain dengan harga itu. Jadi kalau tanah saya yang diserobot itu dua are maka harus harus ada kompensasi minimal 1,4 miliar,” tutup Wijaya seraya berharap keadilan datang kepadanya dan pihak developer agar beritikad baik menyelesaikan persoalan ini secara damai. Sayangnya dari pihak developer belum bisa dikonfirmasi terkait kasus ini hingga berita ini diturunkan. (dan)