Denpasar (Metrobali.com)-

Pendirian Taman Budaya Denpasar, Bali pada tahun 1970-an merupakan bentuk pengembangan seni budaya untuk kepentingan pementasan panggung yang dikonsep budayawan Prof Dr Ida Bagus Mantra (alm), kata Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Udayana Prof Dr I Nyoman Darma Putra “Pendirian taman budaya dikonsep budayawan Prof Dr Ida Bagus Mantra (alm) . Beliau yang kala itu menjabat Dirjen Kebudayaan bertujuan melestarikan seni budaya Bali melalui seni pertunjukan,” kata Prof Dr I Nyoman Darma Putra di Denpasar, Selasa.

Pengamat pariwisata dan seni budaya Bali itu menilai, terobosan yang dilakukan hampir setengah abad yang silam sangat cemerlang, di tengah kondisi sekarang sangat sulit mencari ruang untuk dijadikan panggung mementaskan kesenian Bali.

“Dulu, pentas kesenian drama gong, joged, bisa dilakukan di halaman luar pura, di bale banjar, di bawah pohon atau di ladang kering yang menanti air untuk ditanami padi. Kini, ruang-ruang terbuka yang bebas seperti itu sudah tidak ada lagi, sungguh sulit mencari panggung pementasan,” ujar Darma Putra.

Oleh sebab itu adanya fasilitas taman budaya Denpasar yang kini dijadikan lokasi pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB), aktivitas seni tahunan di Pulau Dewata secara berkesinambungan setiap tahun, merupakan antisipasi atas kian sulitnya mencari panggung kesenian di Kota Denpasar dan sekitarnya.

Darma Putra, alumnus S-3 University of Queensland Australia menambahkan, Prof Mantra yang kemudian dipercaya menjadi Gubenur Bali (1978-1998) juga mempunyai inisiatif untuk mendirikan taman budaya atau gedung kesenian di tingkat kabupaten sebagai “art centre mini”.

Sementara Art Centre Denpasar menjadi arena PKB dan gedung kesenian di tiap kabupaten menjadi pelaksanaan pesta seni di tingkat kabupaten atau gedung pertunjukan kesenian lainnya pada hari-hari tertentu.

“Pembangunan Art Centre Denpasar dan gedung kesenian di kabupaten adalah gagasan yang cemerlang dalam penyelarasan perkembangan budaya jalanan (street culture) dan budaya yang dipentaskan di panggung (staged culture),” ujar Darma Putra.

Ia mengakui dalam perkembangannya banyak gedung kesenian di kabupaten gagal meneruskan fungsinya sebagai bagian dari budaya panggung.

Penyebabnya adalah kombninasi antara komitmen pemerintah dan masyarakat luntur, tidak ada dana untuk biaya merawatnya, disamping lokasinya di jalan utama yang tidak cocok lagi untuk sebuah panggung pementasan, tutur Darma Putra. INT-MB