Denpasar (Metrobali.com)-

Dalam perayaan raina Pagerwesi hari ini, Rabu, 24 Mei 2023, rasanya tepat untuk melakukan refleksi yang merupakan kritik diri melalui sebuah pertanyaan: mengapa kekerasan fisik dan simbolik begitu mudah terjadi, kemerosotan etika dan moral oleh sebagian orang sebagai hal yang biasa, prilaku mabuk dan sejenisnya seakan-akan “dianjurkan”, berbohong di dunia politik oleh sebagian orang sebagai sebuah kelaziman dan bahkan dianggap sebagai “kecerdasan”. Dengan totalitas prilaku ini, image Bali sebagai “Firdaus” yang toleran, tenang dan damai terus mengalami kemerosotan.
Ada banyak jawaban untuk pertanyaan ini, salah satunya, jangan-jangan taksu Bali.terus mengalami kemerosotan, sehingga kekuatan energi transformasi upakara terhadap alam, lingkungan, batin insan-insan manusia orang per orang dan relasinya dengan manusia lainnya, dengan seru sekalian alam, semakin merosot dan memudar. Sehingga prilaku tidak patut, menyimpang, “soleh” semakin sering terjadi, “dipamerkan” dan bahkan “dirayakan” dengan rasa bangga.
Dalam krisis spiritual yang menghadang, Kita bisa menyimak keteladanan Wiku Tapini sakeng Griya Buda Keling Karangasem selama hidupnya Ida Pedanda Istri Mas, yang secara suntuk, berdedikasi nyayah, berkelanjutan tanpa putus dalam penyiapan dan penyelenggaraan di banyak Pura di Bali, terutama di Pura Besakih. Dedikasinya yang panjang “ngayah” di Besakih, setiap tahun piodalan Ida Bhatara Turun Kabeh, setiap 10 tahun piodalan Panca Wali Krama, dua kali piodalan Eka Dasa Rudra, dan upakara besar lainnya di Pura Besakih, membuat Ida Pedanda Istri Mas selaku wiku tapini, mendapat tempat istimewa di hati krama Bali yang memahami dengan baik sejarah Besakih sekala-niskala.
Keteladanan Sang Wiku Tapini, menyebut beberapa, pertama, penyerahan diri secara total dalam hitungan bulan, tahun dalam persiapan dan penyelenggaraan upakara. Kedua, pribadi yang tenang, fokus menjalankan swadharma, tidak saja membuat tenang puluhan dan bahkan ratusan serati banten yang ngayah nyaris siang dan malam, dan mampu mengelola perbedaan yang ada dengan cara-cara menyejukkan. Ketiga, penyerahan diri secara total, didukung oleh sastra yang dipelajari secara cermat, dengan penerapan yang nyaris sempurna tanpa kompromi, membuat sistem holistik upakara diyakini melahirkan energi transformasi luar biasa, buat krama pengempon, umat Hindu secara luas, kualitas relasi antar manusia, bumi beserta isinya dan bahkan alam raya.
Upakara metaksu, agaknya sekarang sermakin memudar, tetapi ironinya semakin banyak sumber daya dipergunakan, tetapi energi transformatif dan taksunya, agaknya terus mengalami penurunan.

Jro Gde Sudibya, Ketua FPD (Forum Penyadaran Dharma).