Tahun 2025, Memimpin dengan Empati, Antisipasipatif, Tidak Reaktif Gagap Merespons Tuntutan Publik
Denpasar, (Metrobali.com)
Dalam penerapan kebijakan pemberlakuan PPN 12 persen, tampak pemerintah kurang berempati terhadap kepentingan publik, kurang antisipasi terhadap realitas yang sedang menimpa publik, akibatnya reaktif gagap dalam merespons tuntutan publik.
Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi dan kebijakan publik, Jumat 3 Januari 2025.
Menurutnya, rasa kurang empati pemerintah, sehingga kurang antisipasi dalam menyimak fenomena ekonomi yang muncul, deflasi 5 bulan berurutan, 10 juta kelas menengah “tersungkur” menjadi kelompok yang rentan menjadi miskin.
Pemerintah, lanjutnya, khususnya Menteri Keuangan sangat paham, dalam kelesuan ekonomi yang berlangsung, dengan daya beli masyarakat yang merosot, dan “social distrust” yang rendah terhadap kabinet “gemuk” Merah Putih.
“Pengenaan PPN 12 persen, punya potensi melahirkan inflasi spiral lebih dari 1 persen, dan atau deflasi yang semakin dalam, yang membuat kenaikan PPN 12 persen membuat kebijakan ini menjadi “biang kerok” keterpurukan ekonomi lebih dalam,” kata I Gde Sudibya.
Dikatakan, pembatalan kebijakan ini, pengenaan PPN 12 persen sebatas barang mewah, menggambarkan sikap reaktif gagap dari pemerintah dalam merespons tuntutan publik.
Tampaknya, Sudibya, fenomena yang sama terjadi di Bali dalam kasus: penyediaan transportasi publik yang lagi heboh, menggambarkan pengambil kebijakan publik yang nir empati bagi kepentingan rakyat, tuna kebijakan antisipasi, menjadi reaktif gagap dalam merespons tuntutan publik.
Dikatakan, fenomena yang dihadapi Bali, tentang: pelayanan jasa transportasi publik, pengelolaan sampah yang tidak kunjung selesai, “benang kusut” kemacetan lalu lintas, mungkin bukan persoalan auto pilot kepemimpinan, tetapi lebih kepada: keterbatasan kemampuan menjabarkan teknokrasi kebijakan, lemahnya pengawasan parlemen dan lemahnya pengawas gerakan masyarakat sipil, termasuk media.
” Akibatnya, itikad baik yang mungkin ada pada pejabat publik, tidak tertranformasi menjadi kebijakan yang berempati pada kepentingan masyarakat, dalam program kerja terukur yang bisa diketahui publik. Akibatnya, itikad baik, sebatas wacana, himbauan, “lips service” dan kemudian menjadi nyaris ilusi,” kata Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi dan kebijakan publik.
Jurnalis : Sutiawan