Keterangan foto: Wakil Ketua I DPRD Badung, I Wayan Suyasa, SH/MB

Badung (Metrobali.com) –

Rendahnya pendapatan asli daerah (PAD) Badung akibat pandemi covid-19 mengancam program-program pembangunan yang akan dijalankan. Saat situasi normal (sebelum pandemi, red), pendapatan Badung antara Rp 250 miliar-Rp 300 miliar per bulan. Namun kini hanya Rp45 miliar hingga Rp 50 miliar per bulannya.

Hal itu diungkapkan Wakil Ketua I DPRD Badung I Wayan Suyasa, S.H. kepada sejumlah media, Rabu (19/5). “Pendapatan Badung yang 85 persen dari sektor pariwisata khususnya pajak hotel dan restoran (PHR) nyaris tak ada lagi di tengah pandemi,” tegas politisi Partai Golkar tersebut.

Untuk ini, ujar Ketua DPD II Golkar Badung tersebut, ada dua hal yang harus dilakukan Pemkab Badung. Pertama, melakukan kegiatan sesuai skala prioritas, dan kedua, berupaya berjuang untuk mendapatkan tambahan dana-dana pusat.

Untuk yang pertama yakni skala prioritas, kata politisi asal Penarungan Mengwi tersebut, program harus diarahkan pada gaji aparatur sipil negera (ASN) di dalamnya ada pegawai negeri sipil (PNS) dan tenaga-tenaga kontrak. Selanjutnya tentu saja yang menjadi program wajib yakni pendidikan yang harus memperoleh alokasi dana minimal 20 persen sesuai dengan UU Sisdiknas, dan bidang kesehatan yang minimal harus dialokasikan 10 persen.

Selanjutnya, Ketua FSP Bali Kabupaten Badung tersebut meminta Pemkab Badung harus transparan menyampaikan kepada masyarakat bahwa program-program lain seperti tunjangan lansia, tunjangan kematian, tunjangan penunggu pasien, bantuan biaya upakara dan sebagainya belum bisa dilaksanakan. Selain karena rumahnya dalam SIPD tak ada, juga karena kondisi keuangan Badung yang sangat rendah. “Pemerintah harus berani jujur dan transparan mengenai keuangan daerah sehingga masyarakat tahu kondisi yang sebenarnya,” tegasnya.

Selanjutnya yang perlu dilakukan, tegas Suyasa, berjuang untuk memperoleh tambahan dana pusat. “Ketika pendapatan daerah kecil, pemerintah pusat wajib men-support daerah dari segi anggaran sehingga program-program pembangunan bisa tetap jalan,” tegasnya.

Namun Suyasa mengingatkan, Pemkab Badung harus berani merancang APBD maupun APBD Perubahan real sesuai dengan faktanya. “Berapa pun PAD yang diperoleh, itulah yang dilaporkan,” katanya.

Jika memang PAD kecil, ungkapnya, celah fiskal Badung menjadi positif. Karena itu, Pemerintah Pusat memiliki dasar untuk menaikkan dana perimbangan ke Badung  baik berupa dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK) dan dana-dana lainnya.

Sebaliknya, kata Suyasa, jika Badung tetap menampilkan APBD tinggi, apalagi di atas Rp 4 triliun, tentu saja celah fiskal Badung masih tetap negatif. “Jika ini terjadi, sulit Badung untuk bisa memperoleh tambahan dana pusat,” tegasnya lagi sembari menambahkan, prinsipnya Pemkab harus jujur.

Yang berpeluang memperoleh tambahan dana pusat, ujarnya, pembayaran gaji PNS. Saat ini, Badung membutuhkan gaji untuk PNS sekitar Rp 700 miliar per tahun. “Badung hanya digelontor Rp 300 miliar,” katanya.

Sangat berpeluang, kata Suyasa, karena gaji PNS merupakan kewajiban pusat. Namun karena selama ini, PAD Badung tinggi sehingga celah fiskal negatif, gaji untuk PNS tidak diberikan semuanya. “Sebagian diambil dari PAD Badung,” tegasnya.

Ketika sekarang pendapatan tak ada, ujarnya lagi, sangat layak pemerintah pusat membiayai penuh gaji PNS di Badung. Tak hanya untuk PNS, Badung perlu memperjuangkan tambahan dana pusat untuk tenaga-tenaga kontrak lainnya. “Alokasi dana untuk belanja pegawai baik PNS maupun kontrak merupakan big cost bagi Badung,” katanya. RED-MB