Dhamantra Centre

Denpasar (Metrobali.com)

Focus Discusion Group (FGD) Dhamantra Centre menyimpulkan, Pemerintah (Daerah) sebaiknya menangguhkan, menunda atau hati-hati dalam implementasi UU Desa. Para pengambil kebijakan terkait di Bali sepertinya tidak ada keseriusan untuk menjalankan amanat UU secara benar, malah sebaliknya. Aroma politisasi sangat menyengat, seperti dengan adanya Pansus UU Desa di tingkat provinsi, yang seharusnya di tingkat Kabupaten/Kota. Kasihan masyarakat desa, adu domba desa Dinas dengaan Adat, apalagi Rekomendasi Pansus dibuat dalam rapat tertutup, Kamis (8/1). Untuk itu, perlu penangguhan pemberlakuan UU Desa, sampai pengesahan RUU Perlindungan Masyarakat Adat dan RUU Otsus/Revisi Provinsi Bali.

Ngurah Putra selaku Ketua Dhamantra Centre saat membuka Fokus Group Discusion (FGD), Rabu (7/1) menyampaikan, publik belum sepenuhnya yakin pada komitmen Pemerintahan untuk menjalankan UU tentang Desa, khususnya di Bali. “Indikasinya, terlihat dari adanya polemik pemilihan pendaftaran Desa Adat, atau Desa Dinas? Ini sangat ironis, dan dapat memicu konflik. Disamping itu,  Kementerian Dalam Negeri mencoba menarik penanganan urusan Desa, padahal sudah ada kementerian yang khusus yakni Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi.”

Menanggapi sinyalemen tersebut, Gede Pawana, Ketua Forum Kades se- Bali mengungkap, adanya salah penafsiran atas konstitusi dan UU Desa. “Di dalam UUD 1945 pada pasal 18A sudah jelas bahwa sistem pemerintahan daerah, desa itu bagian pemerintahan (vertikal self goverment). Pada pasal 18 B, dijelaskan bahwa Desa Adat, Nagari dan sejenisnya bagian dari sistem pemerintahan (self goverment community). Hal ini yang menjadi dasar dalam menentukan kebijakan, yang kini di bahas di Pansus RUU Desa DPRD Bali, bukan memaksa atau mengarahkan pilihan mana yang didaftarkan,” ujarnya.

Menurut Dr. Wayan Wiryawan, polemik ini mengarah pada kegoncangan (chaos) dan konflik hukum, atau bahkan ‘kekacauan hukum’ (anarkhi). Disini perlunya pendekatan hukum progresif, seperti ditawarkan Prof. Satjipto Rahardjo, dengan melihat kepentingan yang dilayani hukum, yakni masyarakat. Kalau bertentangan dengan kepentingan masyarakat, ya bukan hukum, karenanya harus UU ditangguhkan atau diabaikan, dan kembali pada konstitusi, khususnya Pasal 18 UUD 1945.

Pendapat senada disampaikan Dr. Suka Arjawa, dimana UU Desa bertujuan untuk optimalisasi potensi desa, yang di Bali selama ini dilakukan Adat dan Dinas secara ko-eksistensi atau saling melengkapi. Masalahnya, dalam UU Desa ada pertentangan dalam Pasal dengan penjelasan, untuk itu dikembalikan pada batang tubuh atau konstitusi. Bukan dijadikan polemik, atau ajang konflik. “Sejarah konflik adat di Bali, bersifat ‘zero sum games’ atau menang-kalah. Ini harus diwaspadai segenap pihak,” katanya mengingatkan.

Apalagi sikap Kementerian Dalam Negeri yang terlihat masih ingin menarik kewenangan pengelolaan Desa Adat. Menurut Made Mudana Wiguna, Bendesa Adat Serangan, ibarat ingin menarik jarum sejarah. Padahal, dengan adanya UU tentang Desa, jelas pengaturannya tidak lagi di bawah Kemendagri.

“Kalau Mendagri sadar, kewenangan urusan desa mutlak ada pada Kementerian Desa, bukan Kemendagri. Sekarang Pemerintah tidak konsisten, meski di dalam ketentuan umum, pasal 1 poin 16 UU Desa jelas sekali bahwa menteri yang menangani desa adalah Menteri Desa,” tegasnya.

Sementara Made Suardika, penggerak Penanaman Modal Nasional Mandiri (PNPM) Desa menyatakan, jika mengacu pada pasal 122 UU Desa, apa yang menjadi perdebatan tingkat elite dan yang memberi komentar saat ini tidak kompeten, dan tidak paham UU desa. UU ini merupakan penggabungan dua RUU, yakni RUU Desa dan RUU Perlindungan Masyarakat Adat. Hal ini yang menimbulkan bias, dan berpotensi menjadi konflik.

“Karena itu, Pemerintah Kabupaten/Kota di Bali sebaiknya hati-hati dalam membuat aturan dalam implementasi UU Desa. Para pengampu kepentingan (stake holder) harus serius untuk menjalankan amanat UU secara baik dan benar.  Aroma politisasi harus dihillangkan. Kasihan masyarakat desa. Ketika jarum jam dibalik, yang rugi mayarakat desa,” katanya.

Menurut Nyoman Dhamantra, kini berkembang kekhawatiran dimana nantinya pelaksaan UU Desa mengulangi kisah suram pelaksaan UU nomor 19 tahun 1965 tentang Praja Desa di masa Orde Lama, atau UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa di masa Orde Baru.

“UU Praja Desa 1965, UU Pemerintah Desa 1979, UU Desa No. 6/2004 sebenarnya sangat bagus diterapkan saat itu. Namun, karena pelaksaannya dibelok-belokkan, akibatnya rakyat desa gigit jari, dan pada saat yang sama terjadi kooptasi atas masyarakat adat. Saya akan bersurat kepada Presiden RI, Joko Widodo, untuk minta penangguhan atau pengecualian pemberlakuan UU Desa, seperti atas UU Pornografi, UU Produk Halal dan sejenisnya, melalui Perpres/Perpu. Sekaligus meminta penuntasan pembahasan RUU Perlindungan Masyarakat Adat dan RUU Revisi UU Provinsi Bali,” pungkasnya, menjanjikan. JAN-MB