Gellwynn Jusuf

Jakarta, (Metrobali.com)-

Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti terkait dibolehkannya “transshipment” (alih muatan di tengah laut) dengan persyaratan tertentu, bakal segera diterbitkan.

“Akan terbit Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan yang membolehkan ‘transshipment’ dengan persyaratan yang sangat ketat,” kata Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Gellwynn Jusuf dalam konferensi pers di kantor KKP, Jakarta, Rabu (18/2).

Menurut Gellwynn, penerbitan surat edaran tersebut menunggu kembalinya Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang kini lagi ada di Australia.

Dirjen Perikanan Tangkap KKP memaparkan, penerbitan surat edaran itu terkait “transshipment” untuk jenis kapal dengan alat penangkap ikan tertentu.

Misalnya, ujar dia, armada kapal dengan alat tangkap “purse seine” direncanakan untuk ditempatkan 1 ‘observer’ di atas kapal penangkap yang akan memindahkan hasil tangkapan ke kapal pengangkut ikan selama 3-4 bulan.

Sedangkan untuk kapal dengan alat penangkap ikan “long line” akan ditempatkan 1 observer di kapal pengangkut yang menerima pemindahan hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan selama 3-4 bulan.

Sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menegaskan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti terkait dengan larangan “transshipment” atau alih muatan di tengah laut tidak boleh kendor atau dilonggarkan.

“Menteri Kelautan dan Perikanan tidak boleh kendor dengan memperbolehkan kembali alih muatan di tengah laut,” kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim.

Menurut Abdul Halim, “transshipment” bakal berakibat antara lain kepada menghilangnya pemasukan Negara akibat hilangnya pendapatan bukan pajak di Kementerian Kelautan dan Perikanan seperti diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2006, misalnya, jasa pelabuhan perikanan.

Selain itu, ujar dia, volume hasil tangkapan ikan yang dialihmuatkan di tengah laut tidak bisa terdata dengan pasti oleh otoritas sehingga menyulitkan pengambil kebijakan untuk mengevaluasi ketersediaan stok ikan.

“Pengalaman buruk inilah yang dialami oleh negara-negara di kepulauan Pasifik berkenaan dengan pengelolaan ikan tuna yang tidak didaratkan ke pelabuhan pangkalan sebagaimana diatur, di antaranya Kepulauan Solomon sebanyak 2,201 ton,” tutur Sekjen Kiara.

Mafia Sementara itu, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menduga aturan yang bakal melonggarkan larangan “transshipment” (alih muatan di tengah laut) karena adanya desakan yang kuat dari elemen mafia perikanan.

“Patut diduga kelonggaran ini diberikan di bawah tekanan para mafia perikanan,” ucap Ketua Umum KNTI M Riza Damanik di Jakarta, Senin (9/2).

Riza mengaku heran karena satu persatu peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang awalnya ketat, sekarang malah kembali dilonggarkan.

Ia menyebutkan, belum terpapar jelas siapa sesungguhnya mafia perikanan yang merugikan bangsa selama puluhan tahun itu.

“Membuka kembali transshipment oleh kapal asing, tanpa terlebih dahulu mengungkap dan menghukum mafia perikanan, ataupun tanpa terlebih dahulu memperbaiki skema pengawasan adalah keputusan ceroboh yang membahayakan masa depan pangan perikanan kita,” tegasnya. AN-MB