DENYUT nadi kehidupan sistem pertanian di Bali, Subak memang telah sukses menyandang gelar mahaagung sebagai warisan budaya dunia, yang secara resmi dikukuhkan oleh Unesco, Senin 24 September 2012 silam. Subak tersebut terdiri atas kawasan pertanian sekitar 20.974,7 hektare termasuk di dalamnya terdapat situs berupa Pura Taman Ayun, Pura Ulun Danu Batur dan Danau Batur, daerah aliran sungai Pakerisan, serta kawasan Catur Angga Batukaru, yang tersebar di Badung, Tabanan, Gianyar, Bangli, dan Buleleng. Ini tentunya merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi kita semua atas ketulusan dan kearifan lokal secara mendunia.

Ironisnya, lahan pertanian justru semakin menyusut dicaplok para investor. Bahkan, para petani yang menjadi benteng utama dan terdepan dalam upaya pelestarian dan pengembangan Subak semakin kehilangan regenerasinya. Ini karena profesi petani tak mampu menjawab tantangan masa depan, yakni kehidupan yang layak dan lebih baik. Lantaran pemerintah tidak pernah serius dalam menjaga eksistensi subak secara berkelanjutan.

Dalam konteks ini, mengingat bahwa beragam kebijakan pemerintah yang dikonstruksi para elite politik penguasa pemangku kebijakan selama ini secara sistematis kecenderungan malahan menghancurkan ekosistem kehidupan Subak dalam perekonomian industri pariwisata global. Di antaranya terjadinya proses eksplorasi lahan pertanian yang kebablasan dan sistem perpajakan yang sangat memberatkan, menyakitkan dan bahkan mematikan kehidupan para petani.

Fenomena ini tentunya sangat jauh berbeda dengan negeri tetangga yang selama ini telah belajar banyak tentang sistem pertanian di Bali, Subak khususnya. Sebut saja, negeri kincir angin, Belanda dan negeri matahari terbit, Jepang dengan penciptaan sistem pertanian modern jangka panjang berteknologi serba canggih. Meskipun negeri mereka tidak memiliki lahan pertanian luas seperti negeri ini termasuk di Bali, namun sistem pertaniannya malahan tampil terdepan sebagai pendukung sektor perekonomian unggulan.

Sementara itu, denyut nadi kehidupan pertanian di negeri ini termasuk di Bali yang selalu bangga dengan sistem pertanian, Subak sebagai warisan leluhur mahaagung dalam perkembangan paradaban global kekinian malahan semakin morosot tajam, terpinggirkan hingga kehilangan ruh dan taksunya. Ini tentunya selain akibat dari kepentingan kebijakan pemerintah yang terkoptasi kapitalisme global, melainkan juga sekaligus karena para petani terlalu terpesona dalam fatamorgana kesuburan anugrah alam, sehingga melupakan proses inovasi manajemen dan pola pikir teknologi modern serba canggih.

Celakanya, jika realitas ini terus-menerus terjadi tanpa proses perubahan serius secara holistik dan komprehensif, bukan tidak mungkin ke depan para petani, guru, dosen, peneliti termasuk para praktisi pangan di negeri ini terpaksa harus berbondong-bondong belajar sistem pertanian, Subak di negeri tetangga seperti Belanda dan Jepang. Atas dasar itulah, para elite politik penguasa pemangku kebijakan dituntut harus lebih berani dan konkrit untuk melakukan reformasi kebijakan pangan dan keberpihakan yang lebih serius secara transparan dan akuntabel terhadap kepentingan para petani di masa datang.

Langkah strategis yang cukup mudah dan murah dapat dilakukan di antaranya menghidupkan sistem koperasi pertanian lokal yang inovatif untuk menjamin pengadaan pupuk, benih, penjualan produk hasil pertanian hingga bimbingan teknis penerapan teknologi modern secara kontinyu, termasuk memberikan subsidi khusus untuk melindungi hak para petani agar mampu mencapai taraf hidup yang lebih baik dan layak.

Selain itu, perlu adanya moratorium bagi perlindungan lahan pertanian dari kepentingan eksplorasi industri pariwisata oleh para kaum kapitalisme global (investor) yang kecenderungan selalu bersifat sesaat dan jangka pendek demi kepuasan nafsu duniawi personal atau pribadi maupun kelompok atau golongan tertentu. Supaya, nantinya tidak ada lagi istilah kaum petani terpinggirkan dalam kehidupan berdemokrasi di negeri ini. JA-MB