Ilustrasi Jalan Beton memecah persawahan.

 

Denpasar, (Metrobali.com)

Mitos, puja-puji berlebihan terhadap Subak tetapi realitasnya (tamsilnya) “jauh panggang dari api”. Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik dan lingkungan, Jumat 24 Mei 2024 di Denpasar.

Dikatakan, tragedi, terancam punah subak di Bali akibat konversi lahan massif, distimulasi oleh kapitalisme pariwisata.

“Elite (eksekutif dan legislatif) tidak lagi peduli, karena populisme sebagai pilihan politik, lebih suka mengorbankan nilai nilai subak,” katanya.

Dikatakan, ciri populisme elite, perspektifnya jangka pendek, sebatas siklus 5 tahunan Pemilu, menggunakan isu SARA untuk meraup suara, memanfaatkan partai sebatas “tunggangan” politik untuk perpanjangan dan pelanggengan kekuasaan.

Gde Sudibya mengatakan, masyarakatnya (maaf) “belog ajum” dengan puja-puji palsu, tetapi realitasnya, “wong cilik” hanya memperoleh remah-remah, dan elitenya “pesta pora”. Prahara di Pulau Dewata, tidak ada lagi ada yang peduli.

“Elitenya “sibuk masyuk” menuju Pilkada Serentak 27 November 2024. Hasilnya sudah bisa diduga, pergantian orang mungkin terjadi, tetapi perubahan berkualitas untuk Bali dan masa depannya, nyaris mustahil. Prahara di Pulau Dewata. Miris, ” kata Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik dan lingkungan. (SUT-MB).