Oleh: I Gde Sudibya

Dalam tantangan bersama bangsa melawan pandemi Covid-19, yang ukuran virusnya hanya beberapa micron, telah menjangkiti lebih dari 5 juta orang  di seluruh dunia, dengan korban kematian sudah di atas 300 ribu orang. Ironisnya, vaksin pembasminya belum diketemukan, dan diprediksikan baru akan ditemukan sekitar tahun 2021.
Dampak pandemi ini, sangat luar biasa dari: sisi kemanusiaan, ekonomi dan juga sosial kultural. Hal yang sama, juga dialami dan sangat dirasakan  oleh kita bersama di Indonesia.
Dalam perayaan 75 tahun lahirnya Pancasila, dan mengenang hari lahirnya Bung Karno, ( lahir, 6 Juni 1901 di Surabaya, wafat, 19 Juni 1970 di Jakarta ), rasanya pantas untuk kita berefleksi tentang arti,makna, kekuatan strategis dari spirit kebangsaan untuk melawan pandemi Covi-19.
Tantangan bersama akibat Corona
Sebagian netizen kritis bisa bertanya: kenapa ideologi, spirit kebangsaan yang dalam perjalanan sejarah negeri ini telah terbukti mampu menggerakkan puluhan juta insan-insan manusia untuk bangkit melawan penjajahan, dan kemudian berhasil gilang gemilang  memproklamasikan kemerdekaan dan mampu mempertahankannya. Spirit kebangsaan yang telah terbukti mampu mengikat, mempersatukan insan-insan manusia  yang berbeda: suku,agama, bahasa, sejarah, sosial kultural yang menghuni ribuan pulau di bumi Nusantara.
Perbedaan, yang menurut istilah Bung Karno merupakan: ” taman sari ” Indonesia. Berkali-kali dalam berbagai kesempatan, The Founding Father ini menyampaikan dengan lantang: tidak mengakui perbedaan dan membuatnya menjadi sama dan seragam adalah: kemonotonan, dan mudah terjebak menjadi kejenuhan dan kebosonan, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dari keteladan Bung Karno dan Bapak-bapak pendiri bangsa yang lain, kita diwarisi: perbedaan, keragaman, diterima, disyukuri, menjadi kebanggaan dan kemudian menjadi kekuatan bersama.
Dengan pertanyaan susulan yang berupa: tidakkah dengan membawa spirit kebangsaan untuk melawan pandemi sama dengan menembakkan senjata kaliber berat ke segerombolan nyamuk?
Tiga bulan pasca pandemi ini ditetapkan pemerintah sebagai darurat nasional, besarnya kerugian dan potensi kerugian, paling tidak dalam 3 kategori. Pertama, soal kemanusiaan. Jumlah orang yang meninggal, terpapar dan dampak psikologis yang dilahirkannya. Kedua soal Ekonomi. Pendanaan negara yang sangat besar, pertumbuhan ekonomi yang tertekan, risiko gulung tikarnya banyak perusahaan dan angka pengangguran yang membubung.
Ketigs, Sosial kultural. Risiko ketakukan dan kegugupan secara sosial, paranoid secara sosial, disorientasi nilai, kehilangan harapan akan masa depan, bahkan risiko frustrasi sosial, pada hampir semua strata masyarakat.
Dalam penjelasan singkat di atas, revitalisasi spirit kebangsaan melawan pandemi corona, menjadi sangat penting.
Revitalisasi Spirit Kebangsaan
Di suasana perayaan  75 tahun lahirnya Pancasila, mengenang hari lahirnya Bung Karno dan menyongsong 75 tahun usia Republik kita, revitalisasi kebangsaan melawan pandemi corona, dapat mencakup beberapa isu. Pertama, Kepemimpinan yang berdedikasi dan kemudian menjadi suri teladan buat masyarakatnya. Sebagaimana testimoni Bung Karno di ulang tahun beliau yang ke 56.
Kedua, Komitment kemanusiaan, dalam bentuknya yang kongkrit: pemberian prioritas tinggi untuk progam kesehatan dan perawatan bagi yang terpapar, dan upaya maksimal untuk meminimalkan penularan.
Ketiga, Ketajaman dalam penentuan prioritas: ambreg parama artha, dalam bentuknya yang kongkrit antara program kesehatan dan upaya pemulihan ekonomi. Diperlukan sikap teguh untuk memegang kata-kata ( satya wacana ), sehingga terjadi konsistensi kebijakan di lapangan.
Keempat, Pembangkitan sikap hidup gotong royong: ” berat sama dipikul, ringan sama dijinjing “, karena besarnya biaya untuk melawan pandemi, dan untuk mengingatkan para pengambil kebijakan, bisa berlaku adil bagi lapisan masyarakat bawah, yang paling menderita akibat pandemi.
Kelima, Keteladanan, kebersahajaan kehidupan yang telah dicontohkan oleh The Founding Fathers: Soekarno hanya mewariskan 1 rumah biasa di Jln.Sriwijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pak Hatta sampai akhir ayatnya, konon,  tidak kesampaian beli sepatu Bally idamannya. Soetan Sjahrir meninggal di Swiss dalam pengasingan dalam kehidupan yang sangat sederhana dan diberitakan  nyaris tidak bisa bicara di hari-hari terakhir menjelang wafatnya.
Hal ini perlu ditekankan, karena pengalaman krisis moneter tahun 1998 , dengan penutupan sejumlah bank yang melibatkan dana sebesar Rp.650 trilliun, telah terjadi moral hazard yang merugikan negara. Dana talangan dan upaya pemulihan ekonomi akibat dan pasca pandemi diperkirakan akan lebih besar dari jumlah di atas, dengan skala kompleksitas yang jauh lebih rumit.
Kemungkinan terjadinya moral hazard harus dihindari. Hal ini perlu diingatkan, pada kondisi mayoritas rakyat yang kondisi  ekonominya sangat tertekan, nyaris kehilangan harapan akan masa depan. Jangan sampai, dalam upaya penanggulangan pandemi  atau pasca pandemi risiko politik justru memanas di usia Republik yang ke 75 tahun.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, ekonom dan pengamat ekonomi politik.