Denpasar (Metrobali.com)-

Ratusan aktivis dan masyarakat penggerak solidaritas perempuan dari seluruh dunia menyuarakan penolakan terhadap kebijakan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang saat ini tengah mengadakan pertemuan tingkat menteri di Nusa Dua, Bali.

“Ini merupakan forum bagi perempuan dunia untuk menyuarakan persoalan perempuan yang ikut terdampak akibat kebijakan WTO,” kata Koordinator Program Solidaritas Perempuan, Puspadewi ditemui saat menggelar sidang perempuan terkait penolakan terhadap WTO, Kamis (5/12).

Ratusan aktivis penggerak perempuan itu bergabung dengan lembaga swadaya masyarakat baik dalam maupun luar negeri.

Menurut dia, selama ini suara perempuan belum banyak diakomodir terkait dengan kebijakan dari WTO yang memberikan dampak signifikan bagi perempuan.

Ia menyebutkan bahwa salah satu kebijakan kongkret yang dihasilkan dari organisasi perdagangan dunia yang memberikan dampak bagi perempuan yakni dari sektor pertanian.

Sektor pertanian, kata dia, telah membuka ruang kepada bahan pangan impor yang membanjiri pasar lokal.

Selain itu, lanjut Puspdewi, adanya pengurangan subsidi bagi petani juga mempengaruhi perempuan karena hampir 60 persen perempuan di dunia bekerja di sektor tersebut.

“Perempuan itu berperan signifikan dalam pertanian mulai memilih benih sampai distribusi,” katanya.

Tak hanya itu, aktivis perempuan itu juga menyebutkan bahwa kebijakan akses pasar non-pertanian seperti pada sektor peternakan, perikanan, dan industri juga memberikan implikasi upah murah bagi pekerja yang sebagian besar adalah perempuan.

“Kami akan terus berjuang ini bukan akhir sampai perempuan mendapatkan kedaulatan. Pemerintah seharusnya melihat persoalan perempuan ini,” ucapnya.

Dalam forum itu para perempuan dari berbagai negara juga bersaksi terkait kebijakan WTO yang dinilai kapitalis memberikan dampak buruk terhadap kehidupan mereka.

Irna Pasali (40), petani dari Desa Kamba, Poso, Sulawesi Tengah, yang dahulu merupakan seorang buruh menyuarakan dampak dari kebijakan WTO yang telah “merenggut” kehidupan keluarganya akibat pengambilan lahan oleh sebuah perusahaan kelapa sawit.

Selain merasa tersingkirkan akan kapitalisme perusahaan tersebut, sumber daya alam pun, kata dia, juga tercemar dengan hadirnya perusahaan kelapa sawit itu.

“Kami harapkan pemerintah memperhatikan masyarakat khususnya perempuan. Setidaknya pemerintah mengembalikan hak perempuan,” ucapnya. AN-MB