Foto: Tokoh masyarakat Jembrana I Nengah Tamba yang juga Bakal Calon Bupati Jembrana.

Jembrana (Metrobali.com)-

Tokoh masyarakat Jembrana I Nengah Tamba angkat bicara mengenai kabar mengejutkan dimana Bali diwacanakan akan kembali menggelar Nyepi atau “Nyepi Sipeng’” selama tiga hari sejak 18 hingga 20 April 2020 mendatang.

Padahal Perayaan Nyepi tahun baru Caka 1942 yang jatuh pada 25 Maret 2020 baru saja berlalu. “Nyepi Sipeng” selama tiga hari ini diwacanakan Bendesa Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet di Denpasar, Senin (6/4/2020).

Nengah Tamba tidak sepakat dengan penggunaan istilah “Nyepi Sipeng” maupun bentuk pelaksanaan yang rencananya akan dibahas bersama MDA Provinsi Bali bersama PHDI (Parisada Hindu Dharma  Indonesia) Bali dan Pemerintah Provinsi Bali pada Rabu (8/4/2020).

“Kita merasa terganggu dengan berita bahwa akan Nyepi lagi tanggal 18,19,20 April 2020. Ini wacana yang kurang bijak dari MDA Bali dan seperti over kewenangan. Masyarakat sudah susah, MDA harusnya beri kesejukan,” kata Nengah Tamba, Selasa (7/4/2020).

Sebelumnya Bendesa Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet mengatakan “Nyepi Sipeng” dengan tidak melakukan berbagai aktvitas di luar rumah itu, secara sekala dimaksudkan untuk memutus mata rantai penyebaran virus Corona atau Covid-19.

Sementara secara niskala diharapkan dengan doa yang dipanjatkan selama “Nyepi Sipeng” ini pengaruh buruk butha kala dapat dinetralisir dan Bali terbebas dari wabah atau pandemi Covid-19.

Menurut Tamba memang wacana “Nyepi Sipeng” ini niat dan tujuan baik tapi tidak bisa serta merta dilaksanakan dengan berbagai alasan.Tamba pun mengupas secara tajam wacana “Nyepi Sipeng” tiga hari ini.

Ia menegaskan istilah nyepi adalah kalimat dan kata yang sangat sakral dan metaksu. “Pakemnya sudah jelas. Aturan sakanya sudah jelas,” kata Tamba yang juga Bakal Calon Bupati Jembrana ini.

Menurut tokoh asal Desa Kaliakah, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana ini wacana Nyepi lagi di luar pakem yang sudah berjalan perlu dikaji secara komprehensif dan bijaksana serta lebih baik dibatalkan. Sebab ada berbagai dampak secara agama, budaya, sosial kemasyarakatan hingga masalah hukum.

“Dampak Nyepi kembali ini, jika dilihat dari kajian agama Hindu serta adat budaya Bali maka makna Nyepi itu akan menjadi tidak sakral, tidak menjadi sesuatu yang bisa kita hormati ke depan”

Kemudian apa yang terjadi di hari H-1 di Nyepi Sipeng ini mungkin akan lebih memunculkan masalah lagi. Sebab akan terjadi kerumunan dan keramaian orang untuk memburu sembako.

Dari aspek sosial ekonomi, masyarakat Bali yang selama tiga hari penuh tidak bisa keluar rumah apakah sudah dipikirkan bagaimana kebutuhan pokoknya, khususnya bagi mereka yang kurang mampu dan para pekerja informal. Mereka tentu akan kesulitan memenuhi kebutuhan makan sehari-hari jika tidak dibantu pemerintah.

Sementara dari aspek hukum dan kewenangan, tentu akan menjadi persoalan sendiri. Sebab Nyepi Sipeng dengan sama sekali tidak boleh keluar rumah. Hal ini seolah-olah menjadi seperti karantina wilayah yang dilakukan MDA Bali. Padahal lembaga adat ini tidak punya kewenangan untuk itu.

Sebab kewenangan melakukan karantina wilayah atau lockdown maupun hanya menetapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) adalah kewenangan pemerintah pusat. Seperti yang menjadi keputusan Presiden Jokowi untuk mengatasi kondisi pandemi Covid-19 saat ini dilakukan PSBB .

“Persoalannya pemerintah sudah punya aturan sendiri, sudah ada Perpres. Juga sudah ada Satgas Covid-19 didukung Satgas Gotong royong dan lain sebagainya . Karena itu sudah jelas pembagian kewenangan dan tugas penanganan pandemi Covid-19 ini,” ujar Tamba.

“Belum saatnya desa adat itu mencampuradukan tugas dan tanggung jawab dari pemerintah. Takutnya desa adat kita akan kehilangan wibawa kalau wacana Nyepi Sipeng ini tidak diikuti oleh masyarakat,” pungkas Tamba.

Ia mengingatkan bahwa lembaga adat jangan dicampuradukan dengan lembaga pemerintah. Biarkan pemerintah mengambil kebijakan penanganan virus Corona atau Covid-19. Desa adat tinggal mendukung dan menjalankan, jangan malah membuat polemik dan meresahkan masyarakat.

“MDA cukup mengurusi adat dan kelanggengan daripada keseharian umat dan dukung langkah pemerintah. Jangan buat kebijakan sendiri-sendiri,” kata Tamba.

Ia pun berharap MDA Bali lebih aktif mengedukasi krama Bali mengenai pencegahan Covid-19 serta terus mengimbau dan mengajak krama Bali mengikuti anjuran pemerintah untuk melakukan physical distancing dengan lebih banyak diam di rumah, hindari keramaian. Lalu menerapkan pola hidup bersih dan sehat, rajin mencuci tangan dengan air dan sabun serta selalu menggunakan masker saat keluar rumah.

Terkait masalah Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali belum mengatakan emergency dan belum mengajukan PSBB (Pembatasan Sosial Bersekala Besar), menurut politisi Demokrat ini masih banyak ada peluang dan hal-hal positif yang bisa dilakukan oleh Pemprov.

Pemerintah Provinsi atau pemerintah Kabupaten/Kota di Bali harus bekerja dengan serius,dengan tunjukan konkrit. Yakni dengan membagikan masker untuk setiap warga, melakukan penyemprotan desinfektan, hingga perlu segera membagikan sembako bagi masyarakat kurang mampu dan sangat terdampak virus Corona ini.

Selain itu setiap desa mendapatkan dana desa Rp 800 juta dan katanya itu sudah bisa di manfaatkan untuk penanganan Covid-19. Namun faktanya ada dana desa yang tidak turun di masyarakat uuntuk penanganan Covid-19.

“Kenapa itu tidak disasar oleh Pemerintah Provinsi dimaksimalkan sasaran dan tepat gunanya khususnya untuk membantu meringankan beban masyarakat dengan bagikan sembako misalnya,” tutup Tamba. (dan)