Denpasar (Metrobali.com)-

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral masih menunggu persetujuan Gubernur Bali untuk melanjutkan pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi atau geotermal di kawasan Bedugul, Kabupaten Tabanan.

“Begitu Pak Gubernur setuju, kita sudah bisa memulai,” kata Menteri ESDM Jero Wacik usai menjadi pembicara pada pertemuan tokoh Hindu Dunia (World Hindu Summit) di Denpasar, Jumat (14/6).

Pihaknya terus melakukan sosialisasi pembangunan geotermal yang sampai saat ini masih sulit mendapat persetujuan dari pemerintah daerah, tokoh-tokoh agama, dan kelompok masyarakat.

“Saya sudah bertemu Pedanda Gunung. Jadi tidak ada larangan dari segi agama. Kemudian ada muncul larangan dari segi lingkungan hidup, maka ada beberapa anggota DPRD sudah saya ajak melihat di Kamojang, Jawa Barat. Apa ada lingkungan hidup yang terganggu di sana?” ucapnya.

Jero mencontohkan Kamojang yang sudah lebih dahulu dibangun geotermal. Di sana ada pohon tomat, cabai, dan kentang yang hidup di sekitar lokasi pembangkit listrik. “Karena itu bukan gas, tetapi uap air. Jadi yang keluar dari itu uap air, bukan gas beracun,” katanya.

Menurut dia, listrik yang dihasilkan geotermal juga sangat bersih, jauh lebih bersih dari listrik yang dihasilkan diesel, batubara, dan gas sehingga kualitas udara tetap terjaga.

Menteri asal Bali itu tidak memungkiri meskipun sudah dibangun geotermal belum mampu memenuhi secara keseluruhan kebutuhan listrik di Pulau Dewata.

“Kalau geotermal jadi hanya mendapatkan listrik berkapasitas 150-200 megawatt. Sekarang di Bali perlu sekitar 600 megawatt dan ke depan akan 1.000 megawatt,” katanya.

Selain mengupayakan geotermal, pihaknya juga akan mengembangkan energi listrik dari tenaga surya dan gas.

Sebelumnya proyek geotermal Bedugul mendapat banyak penolakan dari berbagai pihak karena proyek yang berlokasi di kawasan Cagar Alam Batukaru di Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Buleleng itu dikhawatirkan akan merusak lingkungan.

Luas lahan hutan lindung yang diizinkan untuk dieksplorasi seluas 82,672 hektare. Akibat banyaknya protes dari berbagai pihak pada 2005, Gubernur Bali pada masa itu, Dewa Beratha, akhirnya menolak proyek tersebut. Pada waktu itu, lahan yang dieksplorasi baru seluas 25,88 hektare.

Demikian juga dengan Gubernur Bali Made Mangku Pastika juga menolak dilanjutkannya proyek tersebut. INT-MB