Para wartawan yang bersiap meliput pertemuan pemimpin Korea Utara Kim Jong un dan Presiden AS Donald Trump di luar Hotel Fullerton, Singapura, 31 Mei 2018.

Singapura mulai memberlakukan undang-undang untuk memerangi “berita palsu” pada hari ini, Rabu (2/10), meski dikritik oleh perusahaan-perusahaan teknologi raksasa dan para aktivis. Para pengkritik mengatakan undang-undang tersebut adalah upaya “mengerikan” untuk membungkam perbedaan pendapat.

Dilansir kantor berita AFP, undang-undang tersebut memberi kekuasaan kepada menteri-menteri untuk memerintahkan situs-situs media sosial agar memasang peringatan di samping unggahan-unggahan yang dianggap tidak benar oleh pihak berwenang. Dalam kasus ekstrem, unggahan tersebut bisa dihapus.

Facebook, Twitter dan Google – yang punya kantor cabang Asia di Singapura – dikecualikan untuk sementara waktu dari beberapa ketentuan. Hal itu untuk memberi waktu bagi mereka untuk beradaptasi.

Bila sebuah tindakan dianggap jahat dan merugikan kepentingan Singapura, perusahaan bisa didenda hinga maksimum S$1 juta atau sekitar Rp 10.2 miliar. Sedangkan bagi pelaku individual bisa menghadapi ancaman hukuman 10 tahun penjara.

Pihak berwenang di negara yang sangat diawasi itu berkeras langkah itu perlu untuk menghentikan penyebaran berita-berita yang salah. Karena, berita-berita seperti itu bisa menyebar bibit perpecahan dalam masyarakat dan mengikis kepercayaan terhadap institut pemerintah.

Namun undang-undang tersebut memicu kemarahan dari kelompok-kelompok HAM. Mereka khawatir aturan tersebut bisa membungkam diskusi online, perusahaan-perusahaan teknologi dan perusahaan media.

Para aktivis khawatir undang-undang itu bisa digunakan untuk membungkam para pengkritik menjelang pemilihan umum di Singapura beberapa bulan lagi. Selain itu, ada juga kekhawatiran aturan itu akan mengikis kebebasan akademik.

Wartawan dan aktivis Kirsten Han, yang juga pemimpin redaksi media independen New Naratif mengatakan undang-undang tersebut sangat mengkhawatirkan.

“Ini hukum yang sangat luas sehingga sulit memperkirakan bagaimana penerapannya. Yang menjadi kekhawatiran adalah dampak yang mengerikan dan makin dalamnya swasensor,” katanya kepada AFP.

Setelah undang-undang itu disahkan pada Mei, Google mengatakan pihaknya khawatir akan “merugikan inovasi dan pertumbuhan ekosistem informasi digital.”

Namun, Menteri Komunikasi dan Informasi Singapura S. Iswaran berkeras bahwa undang-undang itu “bukan mengontrol kebebasan berpendapat.”

“Kita berbagi tujuan yang sama, yaitu mempersilahkan masyarakat untuk terlibat di platform media sosial…untuk mengadu ide,” kata Iswaran dalam wawancara dengan CNBC. [ft/dw](VOA)