Simalakama Adat dan Politik
ILUSTRASI.
OLEH : I Gede Sutarya
Pilkada serentak di Bali, kembali diramaikan dengan isu adat dan politik, sebab menjelang Pilkada muncul Bansos yang ditengarai bermuatan politik. Tetapi tengara ini gampang saja ditepis dengan isu bahwa Bansos adalah uang rakyat yang harus dinikmati masyarakat. Walaupun demikian, demensi politik ditengarai sangat kental, sehingga banyak kalangan menilai Bansos ini akan mencederai komitmen adat yang bebas dari politik. Padahal, dalam realitas, seluruh aktivitas kehidupan tidak terlepas dari politik. Bagaimana adat dalam relasinya dengan politik ini?
Apakah adat terlarang untuk berhubungan dengan politisi dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingannya ?
Adat yang pada awalnya adalah komunitas desa yang merupakan konstruk sosial religius. Konstruk social religious ini dibangun Rsi Markendya untuk menjadi cikal bakal Negara republik yang berbasiskan desa-desa. Secara bertahap, sang rsi berharap desa-desa ini bisa berkoalisi membangun Negara dengan mengangkat salah satu dari petani-petani itu untuk menjadi pemimpin. Tetapi perjalanan sejarah di Bali, tak seperti yang terjadi di Lembah Sungai Kuning, China yang bisa membangun kerajaan dari kumpulan komunitas petani, sebab Bali kemudian kedatangan pasukan dari luar yang membangun kerajaan di Bali.
Kerajaan-kerajaan yang dibangun dari luar itu adalah Singamandawa, yang kemungkinan berhubungan dengan Dinasti Sanjaya di Jawa Tengah dan Warmadewa yang kemungkinan berhubungan dengan Sri Wijaya. Kerajaan-kerajaan ini yang kemudian mempengaruhi perkembangan desa pakraman di Bali. Raja-raja Jawa berikutnya kemudian memasuki Bali, mulai dari Gunapriya Dharmapatni yang merupakan putrid dari Mpu Sendok sampai dengan Majapahit pada abad ke-14 Masehi. Dalam percaturan dengan raja-raja ini, hubungan desa pakraman dengan kerajaan (politik) mengalami pasang surut.
Pertarungan antara desa pakraman dengan kerajaan tercatat dalam beberapa prasasti. Prasasti Pengotan, Bangli yang berasal dari zaman Jayapangus sekitar abad ke-12 merupakan bukti penyelesaian konflik perpajakan dan status antara warga desa dengan kerajaan. Warga desa tidak mau disebut sudra, sehingga raja kemudian mengalah dan memberikan sebutan vaisya untuk warga desa. Pada sekitar abad ke-18, catatan-catatan dari dalam buku Spell of Power menunjukkan penyerangan wilayah-wilayah desa oleh kerajaan. Warga desa yang kalah, kemudian dijual sebagai budak ke Batavia.
Pada era kolonial, desa pakraman mendapatkan tempat sebagai desa adat yang berada di luar struktur pemerintahan. Hal itu dilakukan untuk menjaga kelestarian desa-desa adat di Bali. Desa-desa adat pada era kolonial, sering dimanfaatkan kelompok feodal yang menjadi kaki tangan Belanda untuk mengerem prilaku orang-orang yang menentang kasta. Buku Benang Kusut Kasta, banyak mengulas kasus adat yang menghalangi upacara kelompok tertentu yang menggunakan simbol-simbol elite tradisional, seperti menggunakan bade bertingkat pada upacara ngaben.
Desa pakraman atau sering disebut adat, kerap menjadi alat politik. Bahkan pada era feodal, desa adat hanya menjadi alat tanpa mendapatkan apa pun. Desa adat hanya menjadi pembangun status kaum feudal melalui theater kekuasaannya yang megah. Pada era republik, peran desa adat berubah walaupun statusnya masih berada di luar pemerintahan. Desa adat pada era ini, kerap menjadi legitimasi dari investasi yang dibangun di wilayah desa adat sehingga desa-desa adat yang berada dalam wilayah empuk investasi menjadi desa adat yang kaya.
Pada era republic ini, permaian desa adat dalam ranah politik sering mendapatkan hasil ekonomi, apakah itu bagi hasil atau Bansos. Tetapi ada ranah yang “terjual” dalam permainan ini yaitu kebebasan individu warga desa pakraman. Warga (krama) kemudian menjadi tidak bebas dalam menentukan sikapnya. Inilah kondisi desa pakraman yang tetap ajeg dari masa ke masa di mana karma menjadi tidak bebas dalam menentukan sikapnya. Krama harus memperhatikan kepentingan bersama. Hal ini yang sering dimanfaatkan kelompok investor dan politisi untuk memainkan hegomoninya.
Republik Desa
Pada situasi di mana individu kehilangan haknya untuk menentukan sikapnya maka desa pakraman sebenarnya telah menjauh dari esensinya. Desa pakraman dibangun untuk menjadi media dialog setiap individu yang berasal dari kepercayaan, idiologi dan pendirian yang berbeda. Karena itu, perangkat-perangkat yang ada dalam desa pakraman adalah perangkat dialog. Secara niskala, terdapat Bale Agung yang menjadi tempat berkumpul berbagai desa. Secara sekala, terdapat Bale Banjar yang menjadi tempat untuk berdialog.
Oleh karena itu, dialog menjadi esensi dari desa pakraman. Dalam dialog, setiap orang berada pada posisi yang sama dan sederajat. Karena itu, warga desa pakraman disebut dengan “Ida Dane” yang artinya tuan-tuan yang terhormat. Hal ini menunjukkan warga desa dalam berdialog merupakan warga yang mandiri. Tidak ada yang berstatus budak dalam pertemuan warga. Tidak ada yang berstatus pemimpin dalam pertemuan warga. Pemimpin rapat hanya disebut sebagai “prajuru krama” yang artinya abdi warga. Orang-orang yang memimpin upacara hanya disebut sebagai “juru sapuh” yang artinya pembersih pura sebelum tuan-tuan yang terhormat (ida dane) tersebut sembahyang.
Tradisi ini menunjukkan bahwa karma benar-benar ditempatkan sebagai struktur yang tertinggi dalam pemerintahan adat. Hal itu menunjukkan bahwa kebebasan individu mendapatkan tempat yang baik. Akan tetapi, dalam setiap dialog selalu saja ada yang disebut dengan “orang-orang berpengaruh”. Orang-orang tersebut memiliki pengaruh, bisa karena keturunan, memiliki uang atau memiliki pengetahuan. Karen aitu, secara teori, adat sering menjadi alat elite tertentu adalah wajar.
Hal itu juga terjadi dalam Negara demokrasi yang seolah-olah menempatkan setiap individu sebagai pemegang keputusan publik. Tetapi selalu saja, ada kekuatan-kekuatan tertentu yang mempengaruhi mereka. Kekuatan tersebut bisa saja media massa, kapital, dan yang lainnya. Karena itu, loby-loby kekuasaan selalu harus melalui loby-loby dengan media massa, pemilik modal, dan elite yang lainnya. Hal ini yang menyebabkan keputusan-keputusan pemerintah lebih condong untuk membela elite pendukungnya.
Akan tetapi, desa pakraman sebenarnya bisa menghindar dari hal tersebut, jika desa pakraman kembali kepada fungsinya. Desa pakraman seharusnya hanya bermain dalam wilayah agama dan budaya. Karenaitu, desa pakraman tidak adat empatnya sebenarnya untuk membicarakan politik dan investasi. Tetapi desa pakraman memang sering tergering untuk memainkan wilayah-wilayah tersebut, sebab wilayah-wilayah itu memiliki nilai ekonomi yang jelas timbang wilayah agama dan budaya.
Hal itu sangat wajar, sebab agama dan budaya juga memerlukan uang. Karena itu, uang merupakan alat kekuasaan yang bisa mengatur agama dan budaya. Tradisi agama bisa saja berubah karena “kuasa uang” menghendakinya. Hal itu tidak hanya terjadi pada zaman modern ini, tetapi juga sudah terjadi sejak zaman feudal dahulu. Karena itu, desa pakraman tidak bisa disalahkan dalam permainan politik ini, sebab uang, agama, dan budaya memang memiliki hubungan (relasi).
Persoalannya kemudian adalah bagaimana memainkan relasi tersebut menjadi penentu arah perjalanan desa pakraman. Tujuan desa pakraman adalah membangun masyarakat yang harmoni dengan Tuhan, sesama, dan lingkungan yang disebut dengan Tri Hita Karana. Harmoni dalam ketiga hal ini yang akan membangun kebahagiaan, atauapa yang disebut dengan Satyam (kebenaran), Shiwam (kesucian) dan Sundaram (keindahan). Karena itu, relasi dengan kehidupan nyata ini harus membangun keharmonisan itu. Jika itu tidak terbangun maka relasi kuasa, uang, agama dan budaya sudah memerosotkan nilai-nilai agama dan budaya.
Oleh karenaitu, ukuran dari segala permainan relasi ini adalah kemampuan untuk membangun keharmonisan ini. Hal itu akan terwujud dalam srada dan bhakti kepada Tuhan, hubungan yang baik dengan warga, dan peka terhadap persoalan-persoalan lingkungan. Ukuran-ukuran ini yang harus dijadikan landasan untuk membangun relasi adat dengan dunia yang nyata ini, sebab menutup adat untuk tidak berelasi dengan kekuasaan dan uang adalah tidak mungkin. Karena itu, hal tersebut dimungkinkan dalam kerangka Tri Hita Karana.
(Dr. I Gede Sutarya, SST.Par.,M.Ag adalah dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar)
1 Komentar
mencerahkan… suksma