Bersahabat dengan lingkungan, tidak seperti proyek Pusat Kebudayaan Bali (PKB) di Gunaksa Klungkung yang menggerus Bukit Buluh dan juga Bukit Sawan, yang tidak saja merusak lungkungan, tetapi sudah pada tingkat “ngeletehin” lingkungan Pura di kawasan tersebut.

Boleh membangun dan tidak ada yang melarang. Tetapi membangun perlu mempertimbangkan alam sekala dan niskala alam Bali.  Seperti pembangunan Tol, PKB dan Besakih, apakah sudah ada kajian analisa dampak lingkungan dan apakah sudah dipikirkan oleh Pemangku Kebijakan atas perencana Mega Proyek tersebut?

Selain itu, pemanfaatan proyek tersebut terhadap masyarakat apakah sudah tepat sasaran? Kelayakan ekonomi proyek mesti dihitung secara cermat dan transparan, berapa ICOR nya (Incremental Capital Out-Put Ratio), perbandingan antara jumlah investasi dengan out put yang dihasilkan, sehingga tidak menjadi proyek model KA Cepat Jakarta – Bandung, yang baru kembali di atas 100 tahun, yang tidak layak secara ekonomi.

Hal lain yang menjadi pertimbangan dampak kesempatan kerjanya terutama bagi penduduk lokal, sehingga mereka bisa menjadi “tuan di rumahnya sendiri “, dan punya rasa percaya diri berbusana adat setiap hari Kamis dan setiap rainan Purnama – Tilem. Jangan hanya dilindungi aturan yang dibuat proyek itu tersebut harus jalan.

Jangan mengiming-imingi rakyat dengan janji “sorga”, tetapi faktanya mereka semakin terpinggirkan, dalam artian ekonomi, budaya dan lingkungan. Lihat saja ke bawah ke petani Bali. Mereka hanya bertahan hidup hanya menggarap beberapa petak tanah saja. Tentu sangat menyedihkan kehidup mereka. Boleh dibilang hidup petani di Bali di bawah garis kemiskinan. Sementara para pemangku kebijakan seenaknya menjual pertanian Bali dengan data palsu ke mancanegara?

Siap jamin dengan membangun mega proyek Parkir Bertingkat di Besakih, PKB di Klungkung dan Jalan Tol Gilimanuk – Mengwi akan sejahtera. Belum tentu. Jika ya, apa tolok ukurnya. Tidakah dalam jangka panjang mega proyek tersebut justru bisa menyengsarakan kehidupan masyarakat. Memang awalnya dia merasa sejahtera karena dapat ganti rugi atau menjual tanah, akan tetapi dalam jangka panjang mereka meradang, karena kehilangan sumber kehidupan di lahan pertanian.

Dalam kenyataan, penggusuran terhadap mereka dalam rencana proyek jalan tol Gilimanuk – Mengwi, hampir pasti rakyat kecil akan terpinggirkan, mereka ” tergusur” dari lahan sawahnya, akan sulit bersaing dengan pendatang baru yang lebih kuat dalam modal dan akses ekonomi.

Mulai sepinya kota-kota di jalur pantura Jawa akibat Trans Java bisa dijadikan contoh untuk bercermin. Apa Bali mau senasib dengan Tran Java? Pemangku kebijakan jangan hanya berpikir cuan.

Di samping ini yang lebih penting, kekhasan alam dan budaya Bali janganlah dirusak lagi dengan pendekatan modernisme kapitalistik yang sekuler, merusak alam, melanggar HAM yang sudah mulai ditinggalkan di daratan Eropa dan juga AS.

Oleh : Jero Gde Sudibya pengamat ekonomi dan budaya.