Denpasar (Metrobali.com)-

Dalam dunia jurnalistik, judul berita memegang peranan yang sangat penting untuk mengantarkan pembaca masuk ke dalam berita. Judul berita memiliki fungsi menarik minat pembaca, merangkum isi berita, melukiskan “suasana berita”, dan menserasikan perwajahan surat kabar. Oleh karenanya, judul berita haruslah merupakan rangkuman isi berita.

Berpijak pada prinsip-prinsip umum tersebut, tidak berlebihan jika saksi ahli yang juga Ketua Divisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Wina Armada Sukardi, SH, MBA, MM — yang diajukan pihak tergugat (Bali Post) untuk memberikan pendapat (kesaksian) dalam sidang lanjutan gugatan Gubernur Bali Made Mangku Pastika kepada Bali Post (BP) di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Selasa, 19 Juni 2012 – berpendapat, berita BP 19 September 2011 dibawah judul “Pasca Bentrok Kemoning – Budaga, Gubernur : Bubarkan Saja Desa Pakraman” adalah berita yang dapat dikatagorikan menyesatkan (misleading information).

Pendapat tersebut dikemukakan Wina setelah hakim anggota menunjukkan bukti copy berita BP 19 September 2011 dalam persidangan. Kata hakim, tidak ada kesesuaian sedikitpun antara judul dengan isi berita. Pada judul ditulis ‘Gubernur : Bubarkan Saja Desa Pakraman’, namun dalam tubuh berita sama sekali tidak ada uraian seperti tertulis pada judul. Yang ada adalah uraian mengenai upaya maksimal Pemkab Klungkung mengantisipasi bentrok namun akhirnya bentrok itu tetap terjadi hingga jatuh korban jiwa.

Pengembangan opini publik yang didasarkan pada berita yang menyesatkan (misleading information) itu merupakan tindakan yang bertentangan dengan ketentuan pasal 6 UU Nomor 40 Tahun 1999 tetang Pers yang pada poin c menegaskan pengembangan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar.

Menjawab pertanyaan hakim apakah berita yang ditulis wartawan tetapi wartawan itu tidak hadir di lokasi dapat dikatakan berita bohong, Wina berpendapat, belum tentu demikian karena tergantung pada kredibilitas dan otoritas narasumber. Dalam kasus ini, Wakil Bupati Klungkung dipandang sebagai narasumber yang dapat dipercaya (kredibel). Namun, ketika majelis hakim menanyakan kembali apakah penulisan berita mengenai sesuatu opini yang akan berdampak besar bagi suatu daerah – misalnya menimbulkan keresahan dan perpecahan di masyarakat sebagaimana dmapak berita BP 19 September 2011 ini– cukup dengan narasumber kedua, Wina mengatakan, sebaiknya tidak demikian. Konfirmasi tetap harus dilakukan kepada narasumber utama (Gubernur Bali). Kalau tidak, itu melanggar kode etik.

Pendapat Wina ini sejalan dengan pendapat saksi ahli pihak penggungat Prof. Dr. Drs. Tjipta Lesmana, MA yang menegaskan bahwa wartawan dan redaksi media massa di Bali seharusnya sudah tahu masalah desa pakraman bukan lagi masalah yang super sensitif, tetapi sudah ultra sensitif. Karena itu pemuatan berita berkenaan desa pakraman harus dilakukan secara ultra hati-hati juga.

Soal berita dengan itikad buruk, Wina berpendapat, baru dapat dilihat apabila pengembangan pendapat umum itu dilakukan secara terus menerus, misalnya selama lima hari berturut-turut dengan cara penyajian yang tidak umum, ada judgement (penilaian) sepihak, dan tanpa konfirmasi saka sekali. “Dari situ saja dapat dinilai apakah berita itu beritikad buruk atau tidak,” katanya.

Diakhir kesaksiannya Wina menandaskan, bahwa pers bukanlah lembaga kebal hukum. Sesuai ketentuan UU Pers, seluruh insan pers Indonesia wajib menjunjung tinggi supremasi hukum. Oleh karena itu, masyarakat selaku pemilik kemerdekaan pers tetap diwajibkan iktu melakukan pengawasan, pengawalan dan penegakan kemerdekaan pers dengan menempuh langkah-langkah hukum terkait.

Sidang menghadirkan dua saksi. Sebelum Wina Armada pihak tergugat menghadirkan Wakil Bupati Klungkung Cokorda Gede Agung sebagai saksi fakta. Dalam kesaksiannya, Cok Agung mengatakan, mendengar Gubernur mengatakan bubarkan saja desa pakraman, namun tidak faham konteks pernyataan tersebut. Tempat penyampaian pernyataan juga bukan saat menjawab pertanyaan wartawan sebagaimana head berita BP 19 September 2011, akan tetapi didalam ruangan loby Sekda Klungkung saat berlangsung dialog Wabup dengan Gubernur yang juga dihadiri Sekda Klungkung, Asisten I dan Kabag Humas Klungkung. Yang menarik, ketika hakim mengkonfrontasi bahwa Sekda Klungkung telah menyampaikan kesaksian tidak mendengar sama sekali Gubernur mengeluarkan pernyataan tersebut, Cok Agung mengatakan tidak tahu.

Sidang selanjutnya dilangsungkan Selasa, 3 Juli 2012 dengan agenda penyampaian kesimpulan masing-masing kuasa hukum. Sidang ini dijadwalkan pada 3 Juli tersebut mengingat pihak tergugat tidak memanfaatkan kesempatan pengajuan saksi untuk sidang berikutnya. NOM-BP