Ahli Pidana Sebut; Perkara Diproses Tanpa Rekomendasi Majelis Disiplin Profesi, cacat formil dan Secara Materiil , Unsur Delik Tidak Terpenuhi

 

 

Denpasar, (Metrobali.com)

Selasa, 11 Pebruari 2025, Sidang Perkara Pidana, yang dipimpin oleh I Putu Agus Adi Antara, S.H., M.H, dengan Terdakwa dr. Shillea Olimpia Melyta kembali berlanjut, dengan agenda Pemeriksaan Ahli yang dihadirkan oleh Terdakwa. Sidang dihadiri oleh I Wayan “Gendo” Suardana, S.H., M.H, I Wayan Adi Sumiarta, S.H., M.Kn dan I Komang Ariawan, S.H., M.H., dari Gendo Law Office.

Perkara ini bermula pada hari Rabu, 14 Pebruari 2024, Terdakwa bersama perawat, dan membawa ambulan lengkap dengan peralatannya, datang ke rumah korban Jamie Irena Rayer-Keet untuk melakukan pemeriksaan on call. Terdakwa sudah menawarkan agar korban dirujuk ke rumah sakit dan melakukan lab tes, namun permintaan tersebut ditolak oleh korban. karena korban mengerang kesakitan, Terdakwa memberikan injeksi obat antrain dan injeksi tersebut sudah mendapatkan persetujuan dari pihak korban. Usai diinjeksi obat muncul alergi akibat dari pemberian obat tersebut dan langsung ditangani oleh terdakwa dengan memberikan injeksi obat anti alergi ke korban. Setelah menginjeksikan obat alergi, Terdakwa memastikan keadaan korban sehat dan baik-baik saja, baru Terdakwa meninggalkan rumah korban.

Keesokan harinya di tanggal 15 Pebruari 2024, Korban malah melakukan visum ke RSU Mangusada, hasil visum RSU mangusada menyimpulkan bahwa Korban mengalami reaksi alegri tipe cepat dan hasil visum menyatakan korban dalam kondisi baik dan sehat. Berbekal hasil visum tersebut, korban melaporkan Terdakwa ke Kepolisian Sektor Kuta Utara dengan tuduhan malpraktek sebagaimana Pasal 440 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Kesehatan. Perkara ini naik hingga tahapan penyidikan dan Terdakwa mulai disidangkan pada tanggal 22 Oktober 2024.

Ahli yang dihadirkan adalah Dr. Dewi Bunga, S.H., M.H selaku Ahli Pidana. Ahli juga sebagai Dosen di Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar.

Dalam persidangan tersebut, ahli menerangkan unsur dari Pasal 440 ayat (1) UU Kesehatan, unsur kesalahan bentuknya kelalaian, kelalaian tidak mengedepankan kehati-hatian, kemudian mengakibatkan luka berat. Luka berat mengacu ke Pasal 90 KUHP yang diatur secara limitatif, yakni: Luka yang tidak bisa sembuh atau menimbulkan bahaya maut, Luka yang menyebabkan cacat berat, Luka yang menyebabkan lumpuh, luka yang menyebabkan kehilangan ingatan selama lebih dari 4 minggu, Luka yang menyebabkan korban tidak bisa menjalankan tugas atau pekerjaan, Luka yang menyebabkan kehilangan salah satu panca indera, dan luka yang menyebabkan gugurnya janin pada ibu hamil.

Lebih jauh, ahli juga menjelaskan, dalam pidana kesehatan, ada beberapa istilah, yakni malpraktek, kelalaian medis dan resiko medis. Masing-masing punya klasifikasi dan akibat hukumnya. Malpraktek adalah ketidaksesuaian dalam penanganan dalam standar profesi, undang-undang maupun kode etik. Itu bisa disebabkan karena kelalaian atau kesengajaan. Sehingga kelalaian medis merupakan bagian dari malpraktek. Resiko medis adalah ada timbul dampak, disebabkan ada suatu kejadian yang tidak terduga. Malpraktek dan kelalaian medis dapat dipertanggungjawabkan. Resiko medis tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Atas keterangan dari ahli tersebut, Gendo bertanya kepada ahli, dalam perkara ini, korban ada dampak alergi dan sudah ditangani dengan pemberian adrenalin dan dexamethasone untuk mengatisipasi alerginya, lalu saat ditinggal oleh Terdakwa, kondisi korban baik dan korban masih hidup. Keesokan harinya korban bisa melakukan visum. Hasil visum kondisi korban baik, tanda vital baik, sesak nafas tidak ada, semua dalam keadaan baik. Dari hasil visum, korban mengalami reaksi alergi tipe cepat, yang tidak ada mengancam nyawa atau bahaya maut. Apakah hal tersebut termasuk dalam kategori luka berat sesuai Pasal 90 KUHP?

Dengan tegas Ahli menjawab bahwa hal itu tidak termasuk dalam kategori luka berat sebagaimana dimaksud pasal 90 KUHP luka berat. “tidak termasuk Pasal 90 KUHP”, tegas ahli.

Selanjutnya, Gendo kembali mengajukan pertanyaan ke ahli dengan ilustrasi kasus dalam perkara ini, ada tuduhan bahwa Terdakwa menginjeksi satu obat antrain terhadap korban yang mengaku alergi ibuprofen dan aspirin. Kemudian dikatakan tuduhannya, akibat pemberian antrain, pengakuan korban menyebabkan sembab dan sesak dan hampir meninggal. Kemudian setelah korscek dengan ahli Farmakologi, ternyata terdapat perbedaan yang besar dan tidak ada hubungan antara alergi yang timbul akibat dari injeksi obat antrain terhadap korban yang mengaku alergi ibuprofen dan aspirin.

Terhadap dampak alergi juga sudah ditreatment oleh Terdakwa dengan memberikan obat peningkat adrenalin dan anti alergi. Oleh sebagian ahli juga menyatakan, itu (tindakan pemberian obat peningkat adrenalin dan anti alergi) sesuai dengan standar kesehatan. Apakah terhadap tindakan yang sudah dinyatakan sesuai standar kesehatan, kemudian tidak ada hubungan antara alergi yang timbul akibat dari injeksi obat antrain terhadap korban yang mengaku alergi ibuprofen dan aspirin, dapat dikualifikasi sebagai kelalaian yang merupakan dari malpraktek?

Tegas ahli menjawab, kalau ada obat yang tidak pernah diinjeksi kemudian menimbulkan reaksi, itu adalah resiko medis. Kemudian ada tindakan-tindakan penghati-hatian, itu adalah menghilangkan unsur kelalaiannya. “kalau sudah ada injeksi obat untuk mencegah alergi berdampak buruk, atau untuk penyelamatan, artinya unsur kelalaiannya tidak ada”, tegas Ahli.

Lebih lanjut, Ahli juga menerangkan bahwa mekanisme atas adanya pelanggaran disiplin oleh tenaga kesehatan termasuk oleh dokter diatur Pasal 308 ayat (1), ayat (3) dan ayat (5), Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang menentukan bahwa terhadap dugaan pelanggaran pelanggaran disiplin termasuk pelanggaran pelayanan medis, wajib meminta rekomendasi dari Majelis Displin Profesi. Atas dasar rekomendasi inilah baru dapat dilakukan penyidikan atas dugaan pelanggaran disiplin, rekomendasi Majelis Disiplin Profesi inilah yang digunakan sebagai dasar penyidikan oleh Penyidik.  Melihat rumusan pasal tersebut, rekomendasi dari Majelis bersifat sebuah keharusan atau kewajiban atau imperatif.

Atas keterangan tersebut Gendo mengajukan pertanyaan kepada Ahli “Jika dalam kasus ini, penyidikan bahkan didakwa dan disidangkan tanpa ada rekomendasi dari Majelis Disiplin Profesi, apa akibat hukumnya?”

Ahli secara tegas menjawab: “Secara formil, proses hukum cacat yuridis, secara materiil, tidak dapat ditentukan adanya kelalaian atau tidak ada kelalaian medis dan luka berat, demikian”.

Sidang selanjutnya akan digelar pada hari Selasa 18 Februari 2025 dengan agenda pemeriksaan Terdakwa. (RED-MB)