Wiana ‘’Kasak-kusuk’’ Audiensi Atas Nama PHDI

Putu Wirata Dwikora sedang berposePutu Wirata Dwikora

Denpasar (Metrobali.com)-

Drs. Ketut Wiana, oknum pengurus PHDI yang dikenal pro reklamasi Teluk Benoa, tidak pernah berhenti melawan Keputusan Sabha Pandita tentang Kawasan Suci Teluk Benoa. Selasa (28/6), bocor sebuah informasi penting, dimana Wiana ketahuan telah ‘’kasak-kusuk’’ ke Dirjen Perla (Pengelolaan Tata Ruang Laut), meminta waktu audiensi dengan Dirjen Perla, pada 30 Juni 2016. Wiana diketahui membawa nama lembaga PHDI untuk ‘’pertemuan lanjutan’’ dengan Dirjen Perla Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Informasi itu bocor, karena seorang staf  Dirjen menelpon Ketua Sabha Walaka, Putu Wirata Dwikora, untuk mengkonfimasi ‘’pertemuan lanjutan’’ dari audiensi tanggal 20 Juni 2016 sebelumnya. Putu Wirata mengaku tidak pernah minta waktu untuk pertemuan lanjutan, karena dalam audiensi 20 Juni 2016, semua hal sudah disampaikan. Khususnya, Keputusan Pasamuhan Sabha Pandita tentang Kawasan Suci Teluk Benoa, yang sah, ditandatangani oleh Pimpinan Sidang dan Dharma Adhyaksa. Dharma Adhyaksa sendiri, Ida Pedanda Sebali Tianyar Harimbawa, langsung hadir dalam audiensi dengan Dirjen Perla KKP, pada 20 Juni tersebut.
‘’Kasak-kusuk’’ Ketut Wiana tersebut dinilai secara tidak langsung telah melecehkan lembaga Sabha Pandita yang telah memutuskan Teluk Benoa sebagai Kawasan Suci dalam Pasamuhan 9 April 2016. Sebab, caranya melakukan ‘’kasak-kusuk’’ secara sembunyi dari Dharma Adhyaksa dan Sabha Pandita, telah melanggar AD/ART PHDI. Sebab, Wiana sendiri, yang tidak punya kewenangan sesuai AD/ART, dan menimbulkan tanda tanya mengapa ia  gencar ‘’melawan’’ Keputusan Sabha Pandita tentang KSTB, dengan menyebut, bahwa Teluk bukanlah Kawasan Suci karena Teluk bukanlah Laut. Wiana juga menyebut, laut adalah bila kedalamannya lebih dari 8 meter, sementara Teluk Benoa hanya sekitar 1,5 m dan karenanya bukan termasuk Laut.
Untuk memastikan perihal pertemuan 30 Juni 2016 tersebut, Putu Wirata lalu menelpon Dharma Adhyaksa, apakah memang ada agendanya, atau mengetahui bahwa rencana pertemuan 30 Juni tersebut dikomunikasikan oleh Ketut Wiana ke Dirjen?
‘’Ida Dharma Adhyaksa terkejut, juga mempertanyakan, siapa yang memberi Ketut Wiana kewenangan membawa lembaga PHDI untuk bertemu Dirjen? Dia tidak pernah menginformasikan ke Dharma Adhyaksa, dan saya tidak pernah memberikan tugas untuk itu. Ada kepentingan apa, Wiana begitu ngotot melakukan hal yang bukan kewenangannya?” kata Putu Wirata, mengutip pernyataan Dharma Adhyaksa.
Putu Wirata menambahkan, dalam audiensi dengan Dirjen Perla KKP, Staf Khusus Menteri Perhubungan pada 20 Juni, sudah disampaikan perihal adanya ‘’Keputusan Tandingan’’ yang tidak sah, dan kemungkinan diedarkan oleh oknum yang membawa lembaga PHDI. Menurut yang berkembang di media massa, ‘’Keputusan Tandingan’’ tersebut hanya menyebut ‘’Kawasan  Teluk Benoa’’ tanpa kata ‘’Suci’’. Yang masih bertandatangan disana, hanya Ida Pedanda Gde Bang Buruan Manuaba, Ida Mpu Jaya Acaryananda dan Ida Mpu Jaya Sattwikananda. Tiga Pimpinan Sidang lainnya mencabut tandatangan dan mengakui hanya menyetujui Keputusan tentang ‘’Kawasan Suci Teluk Benoa’’. Tiga Pandita tersebut adalah Ida Pedanda Gde Kerta Arsa, Ida Sinuhun Siwa Putra Parama Dhaksa Manuaba dan Ida Rsi Bujangga Hari Anom Palguna. Dua Pimpin Sidang lainnya, Ida Pedanda Gde Panji Sogata dan Ida Mpu Siwa Buda Dhaksa Dharmita, menolak menandatangani versi ‘’Keputusan Tandingan’’ itu.
Keputusan dirumuskan oleh Sabha Walaka, sesuai amanat AD/ART PHDI dan dipertegas dengan ‘’Surat Penugasan’’ Dharma Adhyaksa. Dengan fakta-fakta diatas, secara moral, mestinya Ketut Wiana tahu diri, bahwa versi ‘’Keputusan Tandingan’’ yang diperjuangkannya, selain tidak sesuai dengan isi dan substansi aspirasi yang berkembang dalam Pasamuhan Sabha Pandita tanggal 9 April 2016, juga karena yang bertandatangan di Keputusan itu tinggal 3 Pandita Pimpinan Sidang. Tiga Pandita lain mencabut tandatangan dan 2 Pandita menolak menandatangani.
‘’Kasak-kusuk’’ Ketut Wiana itu sangat disesalkan berbagai pihak dan dikuatirkan bisa memicu kemarahan umat Hindu. Tindakannya dinilai telah melecehkan Sabha Pandita PHDI yang telah memutuskan Teluk Benoa sebagai Kawasan Suci.
‘’Kalau tindakan Pak Wiana melawan Keputusan Sabha Pandita, ini sebuah pelecehan. Mestinya diberikan sanksi, agar tidak terus menerus menimbulkan kegaduhan di PHDI. Siapapun yang tidak sesuai dengan AD/ART, mestinya diberi sanksi, termasuk diberhentikan saja. Aneh sekali, Keputusan Sabha Pandita dilecehkan seperti ini, tetapi tidak ada tindakan apapun untuk yang bersangkutan,’’ kata beberapa tokoh Hindu, seperti Mangku Wayan Suteja (Ketua Ikatan Suka Duka Pekerja Hindu Indonesia), Made Suryawan (Ketua Forum Studi Majapahit), Agung Suryawan Wiranatha (Ketua Pararparos). RED-MB