Surabaya (Metrobali.com)-

Film dokumenter garapan sutradara Joshua Oppenheimer berjudul “Senyap” atau Look of Silence, ternyata tidak sesenyap judulnya, bahkan sebaliknya terkesan sangat gaduh.

Betapa tidak, film dokumenter kedua dari sutradara AS yang diluncurkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 10 November 2014, itu mengangkat pelaku pembantaian tahun 1965.

Sutradara AS itu tidak menghadiri peluncuran itu, tapi ia berbicara melalui Skype. Ia membandingkan pemutaran perdana Senyap dengan Jagal (The Act of Killing) pada dua tahun silam.

“Saat itu pemutaran Jagal di Salihara berlangsung dalam penjagaan yang amat ketat dan dilanjutkan dengan ratusan pemutaran yang dilakukan dengan amat tertutup,” ujarnya.

Jika film perdana berjudul Jagal itu menyoroti sisi pelaku pembantaian, maka film kedua ini lebih mengedepankan sisi penyintas (korban) dan keluarga korban.

Tapi, Oppenheimer menegaskan bahwa film-film yang dibuatnya itu tidak memiliki tujuan untuk mengorek luka lama antara masyarakat dan para penyintas Tragedi 1965.

“Masa lalu tak akan berlalu selama ancaman masih terus membuat kita terlalu takut mengakui apa yang telah terjadi atau untuk menyuarakan makna peristiwa di masa lalu,” katanya.

Meski begitu, dia mengakui tidak sedang membela sebuah ideologi lewat film, tetapi dia ingin agar masyarakat menyadari bahwa ada pelanggaran HAM pada keluarga yang tersangkut Gerakan 30 September 1965.

Baginya, Senyap menghadirkan pelanggaran HAM serius pada korban dan keluarga yang dianggap tersangkut Partai Komunis Indonesia. Ia merangkai film kisah nyata berisi penuturan dari para korban dan pelaku pelanggaran HAM serius itu.

Senyap memfilmkan perjalanan suatu keluarga penyintas yang ingin mendapatkan pengetahuan mengenai bagaimana anak mereka dibunuh dan siapa yang membunuhnya.

Adik bungsu korban bertekad untuk memecah belenggu kesenyapan dan ketakutan yang menyelimuti kehidupan para korban, lalu mendatangi mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan kakaknya –sesuatu yang tak terbayangkan ketika para pembunuh masih berkuasa.

Militer Meski tidak sedang membela sebuah ideologi lewat film, skenario dalam film itu mengambil latar belakang pembantaian massal 1965 oleh masyarakat di Sumatera Utara yang dikoordinasi oleh militer.

Mengambil sudut pandang orang kedua bernama Adi Rukun, film tersebut mengisahkan kisah nyata pengakuan korban dan pelaku pembantaian.

Adi Rukun (adik korban pembantaian, Ramli) bertemu korban dan pelaku, lalu ia pun mewawancarai berbagai pihak, seperti ibu dan ayahnya yang telah renta, para pembunuh dan penyiksa Ramli, para koordinator aksi pembantaian, dan pihak-pihak terkait lainnya.

Oppenheimer berharap film tersebut dapat memancing kesadaran penonton untuk turut andil dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM pada masa lalu, dalam hal ini pembantaian tahun 1965 kepada orang komunis dan orang-orang yang dicurigai komunis.

Menurut dia, para penyintas Tragedi 1965, seperti keluarga Adi Rukun, yang diduga terkait dengan komunisme, mendapatkan perlakuan diskriminatif.

Untuk itu, melalui film Senyap, Oppenheimer ingin menghadirkan kepada masyarakat tentang kenyataan kehidupan para korban diskriminasi masyarakat dari sudut pandang keluarga penyintas.

“Tanpa mengakui dan menyuarakan makna masa lalu terkait perlakuan diskriminatif oleh para pelakunya, maka kita tunduk pada ketakutan dan menyerah pada ancaman para pelaku,” katanya.

Film dokumenter itu juga memasukkan pesan rekonsiliasi di antara para keluarga korban dan keluarga pelaku. Di dalam film itu, Adi menemui beberapa pelaku pembunuhan dan keluarga pelaku serta menjelaskan identitasnya sebagai adik Ramli yang telah dibunuh dengan kejam. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi pada Orde Baru.

Entah ada dalam skenario atau tidak, latar belakang film yang memotret “pembantaian massal 1965 oleh masyarakat di Sumatera Utara yang dikoordinasi oleh militer” itu memantik “teror” protes dalam berbagai pemutaran di sejumlah daerah.

Tidak hanya di beberapa daerah di Jatim, polisi di Padang pun melarang pemutaran film itu di bioskop setempat. “Pemutaran film itu dilarang polisi sesuai Pasal 80 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman serta Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film,” kata penyelenggara dari Komunitas Cinema, David Darmadi.

Dalam Pasal 80 UU Perfilman itu disebutkan bahwa film yang diputar tanpa lulus sensor akan terancam pidana penjara maksimal dua tahun atau membayar denda maksimal Rp10 miliar.

Skenario Terpenggal Agaknya, keberatan terhadap pemutaran film itu bukan sebatas tidak percaya dengan fakta atau ide rekonsiliasi, namun, ada sebuah skenario yang terpenggal dalam film itu, karena sang sutradara menyodorkan skenario sepihak. Seolah PKI dan simpatisannya merupakan korban tunggal dalam tragedi G30S/PKI.

“Wacana yang dimunculkan sejak tahun 2008 sampai hari ini adalah tragedi G30S/PKI itu ada aktor tunggal dan ada korban tunggal. Aktornya TNI dan NU, sedangkan korbannya PKI,” kata Wakil Sekjen PBNU H Abdul Mun’im DZ dalam bedah buku di Surabaya, 3 Oktober 2014.

Dalam bedah buku yang merupakan kerja sama FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya (UINSA) Surabaya dan Lakpesdam NU Jatim untuk menandai FISIP sebagai fakultas baru itu, penulis buku “Benturan NU-PKI 1948-1965” itu menjelaskan sebenarnya tidak ada aktor dan korban tunggal terkait PKI.

“Kalau tahun 1965, PKI mungkin menjadi korban tunggal, tapi tahun itu mungkin TNI juga menjadi korban. Sebaliknya, tahun 1948 dan 1950 justru menunjukkan PKI itu pelaku dan korbannya adalah NU, karena ada pembantaian para ulama dan ustadz,” katanya.

Oleh karena itu, ia menyatakan apa yang terjadi pada tahun 1965 itu bukan “genocida” (pembantaian massal, besar-besaran, dan sistematik), sebab tidak ada aktor tunggal dan korban tunggal. Selain itu, jumlah korban yang mencapai sejuta itu juga patut diragukan akurasinya.

“Karena itu, tragedi 1965 itu jangan dipotret pada episode puncak, melainkan ada rangkaian. Apa yang terjadi pada tahun 1965 adalah puncak dari kesabaran tokoh-tokoh NU yang menjadi korban sejak tahun 1948 hingga 1950 tanpa protes,” katanya.

Dalam konteks itu, upaya pihak-pihak tertentu yang menempatkan tragedi 1965 sebagai pelanggaran HAM itu terlalu didramatisasi, karena hal itu justru akan menempatkan PKI sebagai pelanggar HAM pada tahun 1948-1950.

“Jadi, pelanggaran HAM dan genocida itu terlalu didramatisasi, karena apa yang disebut-sebut ada sejuta korban dari PKI patut diragukan, karena tahun-tahun itu justru jumlah aktivis PKI mencapai 20 juta, sedangkan NU hanya 7-10 juta dan TNI pun hanya 300 ribu-400 ribu. Kita harus waspada dengan propaganda PKI lewat opini,” katanya.

Dalam bedah buku itu, sejarahwan dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof H Aminuddin Kasdi menyatakan pihaknya mempunyai bukti bahwa PKI itu menyiapkan kudeta, sehingga bila NU dan TNI serta masyarakat tidak bergerak maka Indonesia akan menjadi Negara Komunis.

“Saya punya buku saku buatan CC PKI berjudul ‘ABC Revolusi Indonesia’ yang menyebutkan secara jelas tentang tujuan akhir revolusi Indonesia adalah komunisme, bukan Pancasila, apalagi kapitalis. Buku itu faktual, sedangkan opini-opini dalam sebuah majalah mingguan nasional sejak 2008 hanya propaganda dan psywar,” kata Guru Besar Unesa yang juga pelaku sejarah 1965 itu.

Selain itu, Ketua PP Lesbumi NU Dr Zastrouw Al-Ngatawi menyatakan rekonsiliasi antara NU dan PKI sebenarnya sudah terjadi secara kultural, seperti di Kediri. Para kiai justru mendidik anak-anak PKI, bahkan ada yang dijadikan anak asuh hingga akhirnya menjadi PNS dan politisi. “Kita jangan terjebak dengan rekonsiliasi politis atas nama HAM,” katanya. AN-MB

activate javascript