Sengketa Kredit GWP, IFW Soroti Kepastian Hukum Bisnis di Indonesia
Jakarta (Metrobali.com)
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Indonesia Financial Watch (IFW) mengungkapkan keprihatinannya terhadap kepastian hukum dalam dunia bisnis dan investasi di Indonesia. Sorotan ini terkait kasus Fireworks Ventures Limited, yang hingga kini belum dapat menikmati hasil investasinya sejak 2005 akibat sengketa hukum yang berkepanjangan.
Menurut Koordinator IFW, Abraham Runga Mali, Fireworks Ventures Limited awalnya membeli dan menerima pengalihan hak tagih (cessie) dari PT Millenium Atlantic Securities (MAS) pada 2005 atas utang PT Geria Wijaya Prestige (GWP), pemilik Hotel Kuta Paradiso di Bali. Namun, mereka dihadapkan pada masalah besar terkait dokumen jaminan kredit berupa tiga sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang menjadi agunan.
Persoalan bermula ketika PT MAS memenangkan lelang aset kredit macet GWP dalam Program Penjualan Aset-aset Kredit (PPAK) VI yang diadakan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 2004. Namun, PT MAS tidak menerima dokumen jaminan kredit, termasuk tiga sertifikat HGB yang menjadi agunan pinjaman.
Fireworks Ventures Limited, sebagai pemegang hak tagih yang sah, mencoba melacak keberadaan sertifikat tersebut. Berdasarkan penelusuran, diketahui bahwa ketiga sertifikat itu diserahkan oleh Bank Danamon ke Bank Multicor pada 2007. Namun, Fireworks menduga adanya penggelapan terkait dokumen tersebut dan melaporkannya ke Bareskrim Polri pada 2016.
Laporan ini menghasilkan penetapan dua tersangka, yaitu Tohir Sutanto (mantan Direktur PT Bank Multicor) dan Priska M. Cahya (karyawan Bank Danamon). Namun, kasus ini kemudian di-SP3 dengan alasan merupakan perkara perdata.
Bank Multicor, yang kini menjadi PT Bank China Construction Bank Indonesia (CCBI), menyatakan bahwa mereka berwenang mengelola dokumen tersebut sebagai agen jaminan kreditur sindikasi. Di sisi lain, Fireworks menegaskan bahwa mandat pengelolaan dokumen kredit telah diserahkan sepenuhnya kepada BPPN berdasarkan Kesepakatan Bersama pada 8 November 2000.
Kesepakatan ini mewajibkan Bank Danamon untuk menyerahkan seluruh dokumen kredit kepada BPPN. Namun, alih-alih menyerahkan dokumen tersebut ke BPPN, Bank Danamon justru menyerahkannya kepada Bank Multicor, yang saat itu merupakan bagian dari sindikasi kreditur.
Mahkamah Agung pada 13 Desember 2022 menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Bank CCBI atas gugatan Fireworks terkait perbuatan melawan hukum. Meskipun begitu, Bank CCBI diketahui mengajukan permohonan PK II. Namun, Pengadilan Negeri Jakarta Utara menolak permohonan tersebut karena dianggap pengulangan dari PK sebelumnya.
Abraham Runga Mali menilai konflik ini mencerminkan lemahnya pengelolaan aset kredit macet dan dokumen jaminan.
“Kepastian hukum bisnis dan investasi sangat penting agar investor seperti Fireworks tidak dirugikan lebih dalam,” tegasnya.(ist)