perikanan

Jakarta (Metrobali.com)-

Perubahan pucuk kepemimpinan di Kementerian Kelautan dan Perikanan dari Sharif Cicip Sutardjo ke Susi Pudjiastuti juga membawa perubahan dalam konsep serta implementasi program yang dibawa masing-masing dari mereka.

Pada era Menteri Sharif Cicip Sutardjo, konsep yang digaungkan antara lain adalah industrialisasi kelautan dan perikanan yang mesti menghasilkan produk berorientasi pasar guna memajukan kesejahteraan masyarakat yang terkait sektor tersebut.

“Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sejak 2012 telah mencanangkan kebijakan industrialisasi kelautan dan perikanan. Program ini bertujuan meningkatkan produksi, produktivitas, dan nilai tambah produk yang berdaya saing tinggi berorientasi pasar,” kata Sharif Cicip Sutardjo hampir setahun lalu di Jakarta, 16 Desember 2013.

Menurut dia, program tersebut juga mempercepat pembangunan ekonomi berbasis kelautan dan perikanan melalui modernisasi sistem produksi dan manajemen guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan.

Melalui kebijakan industrialisasi kelautan dan perikanan, lanjutnya, diharapkan terjadi peningkatan nilai tambah, peningkatan daya saing dan modernisasi sistem produksi hulu dan hilir.

Kebijakan KKP itu, ujar dia, juga mendukung penguatan pelaku industri kelautan dan perikanan, pengembangan komoditas unggulan, wilayah, dan sistem manajemen kawasan.

Menteri juga mengemukakan bahwa hal itu termasuk keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungan lingkungan yang berkelanjutan dan perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat.

“Industrialisasi kelautan dan perikanan juga harus dilaksanakan memperhatikan prinsip-prinsip berbasis Blue Economy (Ekonomi Biru), sehingga berkelanjutan dan dapat memberikan peluang kesempatan kerja yang lebih besar,” katanya.

Kementerian Kelautan dan Perikanan pada zaman Sharif juga berhasil membawa penerapan konsep Ekonomi Biru (pengelolaan sumber daya perikanan berkelanjutan) hingga dibahas secara khusus para delegasi dalam Sidang Anggota Dewan FAO ke-148 di kantor pusat FAO Roma, Italia, pada tahun 2013.

Ketika itu, sosok yang menjabat sebagai Direktur Sumber Daya Perikanan dan Akuakultur FAO adalah Indroyono Soesilo, yang kini menjabat sebagai Menteri Koordinator Kemaritiman dalam Kabinet Kerja yang disusun Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Dalam Sidang FAO itu juga dihasilkan salah satunya adalah inisiatif global yang menyepakati Ekonomi Biru menjadi kunci strategi pengembangan kelautan dan perikanan dunia.

Industrialisasi Sharif juga mengingatkan bahwa KKP menjalankan kebijakan percepatan industrialisasi perikanan adalah untuk meningkatkan nilai tambah produk perikanan melalui diversifikasi produk yang menjadi pemicu percepatan produksi perikanan nasional.

Apalagi, menurut politisi Partai Golkar tersebut, kondisi sektor kelautan dan perikanan saat ini memiliki peranan yang sangat penting dalam mendukung perekonomian bangsa, yaitu selain menyediakan bahan pangan dan bahan baku bagi industri, juga berperan sebagai sumber penerimaan devisa dan penyediaan lapangan kerja.

“Pembangunan perikanan dewasa ini tidak hanya untuk meningkatkan produksi, tetapi juga bertujuan mengembangkan prinsip industrialisasi berdasarkan sistem manajemen perikanan yang berorientasi pasar. Dengan demikian, komoditas hasil perikanan memiliki nilai tambah yang tinggi dari sisi bisnis,” ucapnya di sejumlah kesempatan.

Salah satu yang menjadi titik berat dalam KKP adalah pada bidang budidaya perikanan, antara lain dengan terus memacu pengembangan sistem perbenihan melalui pemberlakuan sistem jaminan mutu terhadap semua fungsi sistem perbenihan perikanan nasional.

Langkah itu ditempuh dengan upaya penerapan teknologi dan sarana produksi yang modern, seperti teknologi biosecurity, penggunaan induk-induk unggul serta pakan berkualitas pembenihan ikan skala kecil dan unit usaha pendederan.

Sebagai sarana produksi utama, kata Sharif, benih berperan sangat penting dan strategis sebagai penentu batas atas produktivitas dan kualitas produk perikanan.

“Tanpa keberadaan benih maka seluruh sumber daya dan potensi perikanan budi daya akan menjadi nihil atau kehilangan perannya. Oleh sebab itu, dalam menyokong perbenihan nasional dibutuhkan iklim yang kondusif dalam investasi, ketersediaan infrastruktur, serta bantuan permodalan,” kata Sharif.

Seiring dengan itu, sebagai langkah percepatan sistem perbenihan perikanan budi daya, KKP juga mengembangkan “Broodstock Centre” (Pusat Pembenihan) dengan total kapasitas produksi fasilitas pemijahan tersebut mencapai dua miliar ekor indukan per tahun.

Selain itu, KKP menggalakkan penggunaan induk ikan unggul dengan semboyan GAUL (Gerakan Penggunaan Induk Unggul). Sementara untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi benih, KKP mendorong peningkatan kemampuan Unit Pembenihan Rakyat (UPR) maupun Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT), dan Sertifikasi Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB).

Tidak hanya itu, untuk mengatasi permasalahan distribusi benih perikanan di Tanah Air, KKP melakukan pemetaan sentra produksi benih di bidang budi daya perikanan.

Pemetaan sentra produksi benih tersebut menyasar sejumlah komoditas unggulan seperti udang vaname, patin, nila, dan lele. Hal ini merupakan upaya nyata KKP dalam meningkatkan perbenihan perikanan di Indonesia melalui revitalisasi dan industrialisasi.

Dengan demikian, industri perikanan budi daya hadir untuk menghasilkan produk berdaya saing dan berkelanjutan. Ini menjadi penting lantaran pada tahun 2030 industri perikanan budi daya akan menjadi penyangga perekonomian nasional.

Proyeksi tersebut dinilai tidak berlebihan karena pada saat ini Indonesia diketahui telah berada pada posisi keempat produsen terbesar ikan budi daya di tingkat internasional.

SLIN Sedangkan guna mengatasi permasalahan akses terhadap distribusi antara daerah produksi dan kawasan pasar pemasaran penjualan, KKP juga telah membangun pemetaan Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) sebagai cara untuk mengatasi permasalahan industrialiasi, khususnya mengenai distribusi antara daerah hulu dan hilir industri.

Sharif Cicip Sutardjo meyakini SLIN bakal meningkatkan stabilisasi arus produksi dan distribusi sektor perikanan dari industri hulu hingga ke hilir.

“SLIN menjadi kunci dalam meningkatkan kapasitas dan stabilisasi sistem produksi perikanan hulu-hilir,” kata Sharif Cicip Sutardjo dalam acara Konferensi Daging dan Makanan Laut Indonesia Internasional 2014 di Jakarta, 2 Oktober 2014.

Menurut Sharif, SLIN juga menjadi kunci dalam mengendalikan disparitas harga antarwilayah serta untuk memenuhi kebutuhan konsumsi perikanan dalam negeri.

Ia menjelaskan beberapa komponen tentunya harus dipenuhi agar SLIN dapat berjalan dengan baik, antara lain terkait pengadaan, penyimpanan, transportasi, dan distribusi baik bahan/alat maupun ikan itu sendiri.

Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam mendukung program SLIN, antara lain telah menyiapkan peta jalan pembangunan gudang pendingin dari 2011 hingga 2015. Pada tahun 2014, diperkirakan terbangun 21 unit gudang pendingin.

Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan KKP Saut Hutagalung menyatakan bahwa pengembangan SLIN dengan memperkuat sarana pelabuhan perikanan di berbagai daerah di Tanah Air diyakini bakal meningkatkan daya saing industri perikanan dalam negeri yang dinilai masih belum optimal.

“Keberhasilan dalam membangun sistem logistik laut tidak saja memperkuat kedaulatan pangan tetapi juga meningkatkan daya saing industri perikanan,” kata Saut Hutagalung.

Program SLIN yang memperkuat kedaulatan pangan itu juga terus dilanjutkan pada masa Kabinet Kerja ketika KKP dipimpin Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, yang lebih menegaskan pentingnya menjaga kedaulatan di laut Indonesia.

Selain itu, SLIN juga dinilai selaras dengan program tol laut dan gagasan Indonesia sebagai poros maritim dunia yang dicetuskan oleh Presiden RI Jokowi.

Moratorium Salah satu program andalan KKP pada masa Menteri Susi adalah moratorium perizinan kapal penangkap ikan besar berbobot di atas 30 gross tonnage yang pengadaannya diimpor atau eks kapal asing.

Tujuan Susi mengeluarkan aturan moratorium perizinan untuk izin kapal besar berbobot lebih dari 30 GT adalah untuk menata ulang kebijakan perizinan guna menghasilkan penerimaan yang lebih besar bagi negara.

Sebagaimana diberitakan, pemerintah bakal terus menggenjot Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor kelautan dan perikanan dengan membebankan peningkatan penerimaan itu dari kapal besar berbendera asing.

“Hal itu ditempuh sebagai upaya pemerintah dalam mengembalikan uang negara yang hilang,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta, Senin (3/11).

Menurut Susi Pudjiastuti, sektor kelautan dan perikanan telah menghabiskan uang negara sekitar Rp18 triliun setiap tahunnya.

Nilai itu, ujar dia, dipakai untuk operasional pengembangan sektor kelautan dan perikanan berupa anggaran KKP sekitar Rp6,5 triliun serta subsidi bahan bakar minyak (BBM) untuk perikanan sebesar Rp11,5 triliun.

Ia mengatakan bahwa saat ini dari 5.329 kapal besar bertonase di atas 30 GT yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia, 20 persen kapal berbendera asing.

Selama ini, lanjut dia, setiap kapal hanya berkontribusi sebesar Rp90 juta melalui pembayaran retribusi perizinan kapal penangkapan ikan.

“Padahal, dalam sekali melaut, setiap kapal dapat menghasilkan ikan hingga 2.000 ton. Tentunya nilai yang diperoleh tersebut sangat besar jika dibandingkan nilai pendapatan negara yang disumbangkan,” katanya.

Jika ditotalkan, kata Susi, jumlah yang disumbangkan untuk PNBP dari sektor kelautan dan perikanan dinilai minim karena hanya berkisar Rp300 miliar saja per tahun.

Uniknya lagi, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan bahwa kebijakan moratorium perizinan kapal besar penangkap ikan tidak dikonsultasikan terlebih dahulu dengan beragam pihak “stakeholders” (pemangku kepentingan).

“Saya minta maaf saat saya keluarkan moratorium, saya tidak konsultasikan dengan ‘stakeholders’,” kata Susi Pudjiastuti dalam acara dialog Menteri Kelautan dan Perikanan dengan pelaku usaha di Kantor KKP, Jakarta, Selasa (11/11).

Menurut Susi, bila dikonsultasikan dengan pemangku kepentingan, hal itu bisa sampai jangka waktu yang lama hingga berbulan-bulan.

Lamanya jangka waktu tersebut, ujar dia, karena akan banyak terdapat berbagai pihak yang ingin melakukan lobi-lobi terkait dengan kebijakan moratorium tersebut.

“Kalau DPR sudah jalan, makin keburu susah saya,” seloroh Susi yang enggan dipanggil Ibu Menteri itu.

Ia mengingatkan bahwa saat ini di kawasan perairan Indonesia masih banyak dilalui kapal asing sehingga “di Indonesia semua negara bisa ‘pesta-pora’ di tengah laut (menangkap ikan)”.

Pengawasan Sementara itu, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Gellwynn Jusuf mengatakan bahwa kebijakan moratorium yang dicanangkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tidak sekadar terkait dengan penghentian izin kapal.

“Harapan kami ke depan, moratorium tidak hanya mengurangi izin kapal tetapi bersamaan harus bisa menegakkan pengawasan yang benar,” kata Gellwynn Jusuf dalam konferensi pers yang digelar di KKP, Jakarta, Jumat (5/12).

Gellwynn memaparkan kebijakan moratorium yang dicanangkan Menteri Susi juga bersifat untuk melindungi kedaulatan karena tidak boleh lagi ada alih muatan (transhipment).

Terkait dengan kebijakan moratorium dan transhipment, kata dia, banyak sekali pelaku usaha perikanan dan penangkapan yang mempertanyakan beberapa alasan dan penjelasan dasar terhadap beragam pertimbangan.

“Moratorium ini bukan harga mati, ini adalah suatu proses ingin menata kembali dari semua armada perikanan yang ada yang diberikan izin, khususnya kapal buatan luar negeri,” katanya.

Gellwynn memaparkan, dalam masa moratorium yang berlaku hingga April 2015, akan dievaluasi seperti rencana bisnis yang dilakukan perusahaan, khususnya perikanan skala besar yang memiliki kapal penangkap berukuran besar itu harus membangun industri unit pengolahan ikan (UPI).

Dirjen Perikanan Tangkap KKP mengatakan bahwa kebijakan moratorium bakal menghasilkan sebanyak tiga klasifikasi jenis kapal penangkap ikan.

“Per 30 April 2015 (akhir dari moratorium) mudah-mudahan mereka (perusahaan pengoperasian kapal penangkap ikan) sudah bisa memperbaiki dan memenuhi. Output (hasil) kami kelompokkan ke dalam tiga klasifikasi,” ujarnya.

Gellwynn memaparkan, klasifikasi kelompok pertama adalah kapal yang benar-benar memiliki kepemilikan yang jelas dan selalu mematuhi pembayaran pajak dengan baik. Kelas kedua, ujar dia, adalah kapal yang dinilai masih memiliki kekurangan administratif sehingga akan diberikan waktu untuk memperbaiki kekurangan tersebut.

“Kami masih belum tahu sampai kapan (waktu untuk memperbaiki kekurangan),” katanya.

Sementara itu, kelas ketiga, lanjut dia, adalah kapal yang tidak pernah atau sangat jarang mendaratkan hasil tangkapan ke pelabuhan Indonesia dan lebih sering hilang. Ia menegaskan bahwa bagi perusahaan yang memiliki kapal perikanan seperti itu, izin penangkapan ikannya sudah pasti akan dicabut.

Seiring dengan tindakan tegas moratorium, KKP di bawah Menteri Susi juga telah berkoordinasi dengan aparat, yaitu TNI AL dan Polri, untuk menenggelamkan kapal nelayan asing yang telah tertangkap melakukan pencurian ikan di kawasan perairan Indonesia.

Semoga dengan penerapan program dari industrialisasi perikanan yang berorientasi pasar kepada moratorium-pengawasan yang berorientasi penegakan kedaulatan juga dapat meningkatkan sektor kelautan dan perikanan lebih maju pada tahun 2015. AN-MB