Jakarta (Metrobali.com)-

Sejumlah gurubesar dan akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, siap menjadi saksi di MK (Mahkamah Konstitusi) untuk memperkuat kewenangan DPD (Dewan Perwakilan Daerah)  melalui permohonan uji materiil terhadap 2 UU, yakni UU No. 27/2009 tentang MD-3 (MPR, DPR, DPD) dan UU No. 12/2011 tentang P3 (Penyusunan Peraturan Perundangan). Kesaksian mereka akan didengarkan dalam sidang, Kamis (1/11) depan.

            Hal itu ditegaskan Koordinator Tim Litigasi DPD RI, Wayan Sudirta, SH, usai menghadiri sidang penyampaian pernyataan Pemohon dan Termohon di gedung MK, Jakarta, Selasa (23/10). Dalam sidang penyampaian pernyataan para pihak itu, DPD RI diwakili Ketua DPD RI Irman Gusman, DPR RI menampilkan Nudirman Munir dkk, MPR RI menampilkan Wakil Ketua MPR Lukman Hakim, dan pihak pemerintah diwakili Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Dalam Negeri.
            Lanjut Sudirta, diantara gurubesar dan akademisi yang siap menjadi saksi untuk DPD RI berjumlah 13 orang, antara lain  Prof Saldi Isra (Univ. Andalas, Padang), Dr. Dewa Palguna (Univ. Udayana), AAG Ari Dwipayana (UGM), Dr. Fatmawati (UI), Dr. Irman Putra Sidin, Laica Marzuki, Prof. Siti Zuhro, Dr Ramlan Surbakti, Prof. Yudi Latif, Fajrul Falakh,  dan lain-lain, DPD RI merasa perlu mengajukan permohonan uji materiil ke MK, agar kewenangan DPD yang diatur dalam konstitusi benar-benar dilaksanakan melalui pembentukan UU.
            Dalam permohonan uji materiil terhadap 2 UU tersebut, DPD memohon agar dalam proses legislasi, kewenangan DPD disetarakan dengan DPR. Selama ini, dengan UU tentang MD-3 dan P-3, DPD tidak bisa bekerja maksimal, karena  DPD tidak diikutkan dalam pembahasan RUU. Padahal dalam pasal 22 D UUD 1945, kewenangan DPD dalam legislasi sangat jelas.
            Tim penasihat hukum DPD RI adalah Todung Mulya Lubis dkk tidak sependapat dengan DPR (termohon) yang menyatakan kewenangan DPD sudah sesuai dengan konstitusi. DPR dalam tanggapannya menyatakan, konstitusi menyebutkan bahwa  kewenangan legislasi dipegang oleh  DPR dan Presiden sementara DPD hanya ‘’ikut’’ dan tidak disebut memiliki hak dan wewenang. DPR juga berpandangan, sistem Indonesia ini sudah benar dan tidak bisa dibandingkan dengan sistem di negara lain, karena Indonesia memiliki sistem sendiri, sebagai kelanjutan dari jaman Orde Baru dimana selain ada DPR, ada pula MPR dengan unsur DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan.
            Sementara pemerintah dalam keterangannya berbeda dengan DPR RI, tidak membantah satupun dalil DPD RI sebagai Pemohon. Justru dalam keikutsertaan fraksi-fraksi ketika membahas RUU ditolak pemerintah, hal mana sejalan dengan pendapat DPD RI. Salah satu dalil pemohon DPD RI menyatakan, setiap RUU dibahas oleh DPR, Presiden dan DPD RI sepanjang berkaitan dngan RUU kewenangan DPD RI, bukan oleh fraksi dan Presiden. PW-MB