Said Didu

Denpasar, (Metrobali.com)-

Negeri ini dibangun, dinyatakan secara jelas dalam konstitusi, berbasis ide sosialisme, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, kemanusiaan dan keadilan sosial, fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara.

Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik, Senin 18 Nopember 2024.

Menurutnya, tindakan yang dilakukan pengusaha dalam proyek PIK (Pantai Indah Kapuk) II, jelas bertentangan dengan prinsip keadilan dalam konstitusi terutama penentuan harga ganti rugi tanah yang tidak adil, pemagaran laut sepanjang 23 km tanpa seizin dan sepengetahuan pejabat setempat dan rakyat.

Said Didu, birokrat profesional, pernah menjabat sekretaris Menteri BUMN lebih dari 10 tahun, sudah tentu sangat paham, tali temali kekuasaan di lingkungan BUMN dan kecenderungan untuk salah guna, korupsi. Nyaris berjuang sendiri, melawan arogansi oligarki yang memperoleh dukungan kekuasaan.

Menjadi menarik disimak putra Bugis asal Sulawesi Selatan, dia berjuang untuk tegaknya keadilan di wilayah Banten. Sekaligus memberikan penggambaran, kuatnya kohesi sosial, dalam merawat dan menjaga sesanti negara: “Bhineka Tunggal Ika”.

Dikatakan, arogansi kuasa oligarki yang mendapat beking penguasa,seakan-akan dengan kuasa modalnya “de facto”, menguasai negeri, harus dilawan oleh rakyat, melalui gerakan masyarakat sipil yang militan. Karena ongkosnya sangat besar bagi: keberlanjutan demokrasi, penegakan hukum dan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.

Menurut I Gde Sudibya, tantangan bagi pemerintahan Presiden Prabowo, untuk mengoreksi status proyek PIK Dua ini, sebagai PSN, karena punya potensi risiko pemicu konflik kelas, kelas menengah VS kelas elite, dan potens terjadinya konflik etnis.

“Potensi penyalah guna kekuasaan, dengan menahan Said Didu, dengan alasan yang dicari-cari, yang bisa mengundang protes luas rakyat, semestinya dihindari,” kata I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik. (Sutiawan)