Tjahyo Lepas Peserta PKB 2017

Suasana pembukaan PKB 2017

PRAKTIK persekusi dalam aksi premanisme berlabel pungutan liar (pungli) demi kepentingan pribadi maupun kelompok/golongan (ormas) tertentu berbasis desa adat/pekraman yang terjadi terus menerus secara masif, terstruktur dan sistemik setiap pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) berlangsung seakan telah menjadi budaya salah kaprah di tengah kehidupan berbangsa, dan bernegara serta bermasyarakat. Dimana, kemacetan tahunan akibat bahu jalan/trotoar dijadikan parkir komersial selama pelaksanaan PKB berlangsung seakan tak pernah mendapatkan perhatian serius aparat negara.

Upaya pencitraan nilai adiluhung kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali dalam PKB tahun ini pun selalu gagal dan kecenderungan semakin merosot di mata publik dunia. Hal ini tentunya terjadi karena adanya pembiaran terus-menerus tanpa adanya tindakan penegakan hukum berkeadilan oleh aparat negara di bidang keamanan terutama dalam kepanitian penyelenggara PKB selama ini.  

Dampaknya, ruang publik kehilangan otonominya dalam memberikan layanan prima yang berkualitas sekaligus tentunya terjamin kenyamanan dan keamanannya dari aparat negara di bidangnya. Ironisnya, desa adat/pekraman yang semestinya memberikan perlindungan dan turut andil dalam menciptakan kenyamanan dan keamanan tersebut justru disinyalir secara terang-terangan tampil terdepan sebagai eksekutor utama dari praktik persekusi atau premanisme berlabel pungutan liar (pungli) demi kepentingan pribadi maupun kelompok/golongan (ormas) tertentu itu sendiri.

Hal ini terjadi karena oknum pejabat atau perangkat desa adat/pekraman tersebut disinyalir telah terkoptasi budaya berpikir premanisme dan ego sektoral dari otonomi yang kebablasan. Tak ayal, desa adat/pekraman terutama yang berada di kawasan UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar dicap publik sebagai “sarang” premanisme. Celakanya, aparat negara seakan tak berkutik dan hanya bisa diam membisu. Bahkan terkesan turut menjadi penonton setia dari praktik persekusi dalam aksi premanisme berlabel pungutan liar (pungli) demi kepentingan pribadi maupun kelompok/golongan (ormas) tertentu berbasis desa adat/pekraman tersebut. Sungguh tak ada budaya malu, meski kinerjanya telah jadi sorotan utama publik selama ini.

Terlebih lagi, diketahui bahwa Presiden Joko Widodo sangat serius melakukan pembenahan terhadap pelayanan publik prima yang berkualitas dan bersih dari praktik pungutan liar (pungli) serta aksi premanisme. Bahkan, telah mengeluarkan peraturan pemerintah nomor 87 tahun 2016 tentang satuan tugas sapu bersih pungutan liar (satgas saber pungli). Sehingga, Satgas Siber Pungli pun dicap publik sebagai macan ompong, karena tidak berani menindak tegas para pelaku praktik persekusi dalam aksi premanisme berlabel pungutan liar (pungli) demi kepentingan pribadi maupun kelompok/golongan (ormas) tertentu berbasis desa adat/pekraman yang selama ini selalu terjadi setiap pelaksanaan PKB berlangsung.

Dinamika sosial ini menjadi wacana paling utama dari tim pengawas independen PKB 2017 yang beranggotakan Prof. Dr. I Made Bandem, MA (Ketua), I Nyoman Wija, SE, Ak. M.Si (Sekretaris), Ida Rsi Agung Wayabya Suprabhu Sogata Karang, Drs. I Gusti Putu Rai Andayana, dan Prof. Dr. IBG Yudha Triguna, MS (anggota). Hal ini terungkat dalam rapat evalusi perdana di ruang Kepala UPT. Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar, Jumat (16/6).

Ketua Pengawas Independen PKB 2017, Prof. Dr. I Made Bandem, MA, yang juga mantan Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, mengaku sangat sedih dan prihatin atas praktik persekusi dalam aksi premanisme berlabel pungutan liar (pungli) demi kepentingan pribadi maupun kelompok/golongan (ormas) tertentu berbasis desa adat/pekraman yang terjadi terus menerus secara masif, terstruktur dan sistemik setiap pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) berlangsung.

Menurutnya, tim keamanan PKB saat ini sepertinya tak mampu mengatasi persoalan tersebut. Terlebih, kini sudah ada satgas siber pungli. Semestinya tindakan melanggar hukum ini tak boleh terjadi lagi dalam pelaksanaan PKB tahun ini maupun di masa mendatang. Ada kesan pembiaran yang selama ini dirasakan publik memang betul adanya. Ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut dan harus ada tindakan yang cepat agar citra PKB tidak semakin merosot.

Pelayanan publik prima yang berkualitas selama pelaksanaan PKB berlangsung harus menjadi prioritas utama dan yang terpenting kinerja tim keamanan patut ditingkatkan lagi dengan melakukan langkah kongkrit, lebih berani dan tindakan tegas sesuai hukum yang berlaku. Guna menghapus adanya kesan pembiaran, yang mengakibatkan semakin tajamnya kesenjangan sosial di tengah masyarakat terutama di sekitar kawasan UPT. Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar.

Semestinya, ruang publik seperti bahu jalan/trotoar terutama yang menjadi aksesbilitas utama selama pelaksanaan PKB berlangsung harus terbebas/bersih dari kepentingan pribadi maupun kelompok/golongan (ormas) tertentu. Guna menghapus kesan kesemrawutan dan kemacetan tahunan setiap pelaksanaan PKB berlangsung.

Bahkan, yang sangat tragis lagi, kampus ISI Denpasar setiap pelaksanaan PKB berlangsung selalu menangis, sedangkan desa adat/pekraman justru gembira dan berpesta. Padahal, semestinya ISI Denpasar adalah ruang publik yang sangat otonom sebagai gudang seniman akademis dan penjaga kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali di masa depan dan tak boleh dikuasai pihak lain termasuk desa adat/pekraman.

“Saya sedih dan prihatin dengan praktik persekusi atau premanisme yang terjadi bertahun-tahun di ISI Denpasar. Bahkan, desa adat/pekraman yang konon mengaku disebut sebagai pelindung justru menjadi pelaku utama dari praktik melanggar hukum tersebut. Istilah populernya seperti pagar makan tananam,” katanya sembari meminta aparat keamanan segera mengambil tindakan tegas dan menghentikan praktik persekusi atau premanisme tersebut.

Sinergisitas ISI Denpasar dengan UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, selama pelaksanaan PKB berlangsung harus tetap dijaga dengan baik. Maka itulah, para pelaku praktik persekusi dalam aksi premanisme berlabel pungutan liar (pungli) demi kepentingan pribadi maupun kelompok/golongan (ormas) tertentu berbasis desa adat/pekraman harus ditindak tegas tanpa tebang pilih.

Ditegaskannya, hal ini tentunya menjadi peringatan bagi tim keamanan PKB 2017, bahwa ISI Denpasar harus bersih dari praktik persekusi atau premanisme berlabel pungutan liar (pungli) demi kepentingan pribadi maupun kelompok/golongan (ormas) tertentu berbasis desa adat/pekraman dan aksesbilitas jalan sekitar UPT Taman Budaya (arts centre) Bali terutama Jalan Nusa Indah mulai dari ujung Selatan hingga Utara haruslah bersih dari parkir. “Ingatlah PKB sebagai even budaya berkelas nasional dan bahkan dunia, jangan dicederai dengan praktik persekusi atau premanisme,” tegasnya, yang diamini Prof. Dr. IBG Yudha Triguna, MS dan anggota tim pengawas independen lainnya.

Prof. Dr. IBG Yudha Triguna, MS, yang juga mantan rektor UNHI Denpasar ini menambahkan semestinya tim keamanan PKB harus melibatkan aparat negara di jajaran Polda Bali. Bahkan, sangat memungkinkan juga melibatkan keamanan dari Mabes Polri. Mengingat PKB sudah menjadi ikon nasional dan bahkan dunia sebagai pilar utama pembangunan kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali di masa depan. “Ini artinya negara tidak boleh kalah dengan praktik persekusi atau premanisme dalam bentuk apapun,” tegasnya.

Menurutnya, pemimpin Bali, harus bisa belajar dan mau mencontoh sejumlah pemimpin yang telah sukses melayani dan membela kepentingan publik sekaligus menciptakan pelayanan publik prima yang berkualitas, di antaranya Tri Rismaharini, sebagai Walikota Surabaya Terbaik Dunia yang sukses menertibkan praktik postitusi tersohor dengan Gang Dolly dan mengubahnya menjadi pusat industri kreatif seperti Batu Akik, dan mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Diakuinya, terlepas dari kasus SARA yang menimpanya Ahok adalah pemimpin sukses yang peduli dan membela kepentingan publik dengan kerja nyata membersihkan dan menormalisasi sungai dari sampah dan gangguan pemukiman liar, serta sistem transparansi program dan keuangan pemerintahan yang dapat diakses publik secara terbuka. Begitu juga, menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, yang sukses memerangi mafia ikan yang melibatkan oknum pejabat dan oknum aparat negara dengan meledakan dan menenggelamkan kapalnya.

“Ayo tunjukan bahwa Bali punya pemimpin berkualitas yang berani dan membela kepentingan publik sekaligus menjaga kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali dari praktik persekusi atau premanisme berbasis desa adat/pekraman,” sindirnya sembari mengatakan bahwa masih banyak contoh pemimpin sukses yang patut dijadikan contoh teladan.

Lebih jauh, Sekretaris Pengawas Independen PKB 2017, I Nyoman Wija, SE. Ak, M.Si mengakui bahwa berdasarkan kajian kritis dan fakta selama ini bahwa persekusi atau premanisme berlabel pungutan liar (pungli) demi kepentingan pribadi maupun kelompok/golongan (ormas) tertentu berbasis desa adat/pekraman merupakan penyebab utama gagalnya agenda pelayanan publik prima yang berkualitas di PKB terkait penyediaan shuttle bus yang memanfaatkan transportasi publik seperti angkutan trayek pengumpan (feeder) sarbagita dengan memanfaatkan lahan parkir di GOR Ngurah Rai, Denpasar dan Lapangan Timur Puputan Renon, Denpasar, serta kantor pemerintahan di sekitarnya.

Dikatakannya, publik secara umum sesungguhnya sangat mengharapkan adanya shuttle bus tersebut. Tapi, desa adat/pekraman sekitar kawasan UPT Taman Budaya (arts centre) Bali menolaknya karena merasa dirugikan. Takut kehilangan penghasilan dari praktik persekusi atau premanisme berlabel pungutan liar (pungli)  yang dilakukan selama ini setiap pelaksanaan PKB berlangsung. Disinyalir ada oknum pejabat dan oknum aparat negara yang sengaja mendesak penghapusan program shuttle bus tersebut untuk melindungi pundi-pundi keuangan yang telah diperolehnya selama ini.

“Kurangnya budaya malu dari pejabat dan aparat negara di bidang keamanan membuat praktik persekusi atau premanisme berlabel pungli demi kepentingan pribadi maupun kelompok/golongan (ormas) tertentu berbasis desa adat/pekraman semakin membudaya di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat selama ini,” tegasnya.

Di samping itu, Drs. I Gusti Putu Rai Andayana, anggota tim pengawas independen 2017 menyoroti masalah tidak adanya sipnosis pagelaran sehingga tim stage manajer seringkali kesulitan dalam mengatur kebutuhan sound system dan ligthing saat seniman tampil di panggung. Semestinya, persoalan ini dapat dituntaskan jika ada kemauan semua pihak untuk berbenah. Komunikasi di antara kepanitian PKB perlu  diintensifkan dan bilamana perlu saling jemput bola. Agar segala kendala dan persoalan teknis di lapangan selama pelaksanaan PKB berlangsung dapat diatasi dengan baik dan cepat.

Katanya, yang tak kalah pentingnya adalah tidak hadirnya presiden saat pelepasan pawai dan pembukaan PKB tahun ini juga patut dijadikan pembelajaran bagi tim lobi baik formal maupun informal ketika mengajukan undangan. Semestinya, jika presiden tak hadir harus ada sambutannya dibacakan oleh yang mewakilinya. Siapapun yang mewakili hendaknya sambutan presiden seharusnya tetap ada. Selain itu, undangan untuk sulinggih tidak perlu jika tidak untuk muput upakara. Dan undangan pejabat dari DPRD cukup pimpinannya dan perwakilan komisi ataupun pimpinan praksi saja. “Intinya, semua saluran komunikasi yang dapat mengangkat citra PKB di mata publik baik nasional maupun dunia harus diupayakan lebih optimal ke depannya,” tandasnya.

Sementara itu, Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.Skar, M.Hum, Rektor ISI Denpasar dalam beberapa kesempatan bahkan sudah seringkali mengakui bahwa pihaknya tidak bisa menolak adanya pemanfaatan areal kampus untuk kepentingan parkir oleh pihak tertentu yang mengatasnamakan desa adat/pekraman selama pelaksanaan PKB berlangsung.

Diakuinya, bahkan tahun lalu memang pernah mendapatkan ancaman penutupan aksesbilitas keluar masuk kampus ketika permintaan mereka (desa adat/pekraman) ditolak. Pihaknya, tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya menyerahkan sepenuhnya persoalan ini kepada aparat negara terutama pihak keamanan dalam kepanitiaan PKB. “Pihaknya berharap semua pihak mengerti dan memahami otonomi kampus dengan baik dan benar sehingga persoalan ini dapat dituntaskan dan tidak terus menerus mengganggu kenyamanan dan keamanan kampus di masa datang,” harapnya.(wb)