Ida Bagus Sidartha Putra, Ketua Umum Sanur Village Festival saat memberikan keterangan pers di Sanur, Rabu

Ida Bagus Sidartha Putra, Ketua Umum Sanur Village Festival saat memberikan keterangan pers di Sanur, Rabu (27/7).

Denpasar (Metrobali.com)-

Sanur Village Festival 2016 adalah tahun pelaksanaan festival kebanggan masyarakat Sanur yang kesebelas. Sebuah pelaksanaan yang membingkai acaranya dalam sebentuk tema utama “Tat Twam Asi”. Tema ini berangkat dari pemaknaan filosofi kandungan ajaran Hindu tentang “aku adalah engkau dan engkau adalah aku”.

Dengan mengedepankan pengenalan jati diri secara universal, tema ini memiliki relevansi pada banyak hal termasuk hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya (Tri Hita Karana). Hal tersebut terungkap pada jumpa pers, di Oasis Hotel, Sanur, Rabu (27/7)

Secara simbolisme pelaksanaan angka tahun ke-11, menempatkan angka kembar atau posisi angka yang bisa dikaitkan memiliki dimensi yang sama antara kanan dan kiri. Menghubungkan kesamaan ini Panitia Sanur Village Festival 2016 mengembangkan menjadi dialog ruang dalam melihat aku dan engkau yang sama, seperti konsep Tat Twam Asi. Mengemas branding “Tat Twam Asi” Sanur Village Festival, mengejewantahkan suatu rencana aksi strategis, terpadu dan berkelanjutan dari tema-tema utama Sanur Village Festival sebelumnya. Untuk itu, Tat Twam Asi sekaligus menjadi bagian refleksi dari dasa warsa pelaksanaan Sanur Village Festival.

Sanur telah memberikan ruang bagi bertemunya warga dunia dengan mengedepankan keramahan, toleransi dan keakraban sebagai kekuatan dasar hospitalitas pariwisata. Dan Sanur juga telah memberikan ruang dalam mewadahi segala bentuk kreativitas masyarakatnya melalui berbagai kegiatan yang berdampak pada peningkatan ekonomi dan kesejahteraan.

Sanur Village Festival dalam upayanya menciptakan branding bagi promosi pariwisata telah membuktikan mampu digulirkan secara berkelanjutan. Pelaksanaan Sanur Village Festival bahkan bisa dibilang sebagai festival desa bersekala maupun berselera dunia yang dilaksanakan secara mandiri, paling sukses di Bali.

Melalui tema utama “Tat Twam Asi” Sanur Village Festival 2016 akan menguatkan relasi pandang untuk  menciptakan kekuatan yang lebih besar dalam menyatukan segala postensi pariwisata, alam, masyarakat, kehidupan tradisi, seni dan budaya, dan ragam kreativitas warga yang bakal memacu daya tarik pariwisata.

Ida Bagus Sidartha Putra, Ketua Umum Sanur Village Festival,  mengatakan Sanur Villege Festival telah dikenal masyarakat lokal, nasional maupun internasional. Berbekal inovasi, keberanian, nilai-nilai luhur tradisi, semangat kebersamaan dan membangun desa yang tinggi serta intuisi yang dipegang dalam melihat masa depan, SVF berhasil menguatkan karakternya sebagai festival yang mempromosikan pariwisata di Bali, dan Kota Denpasar khususnya.

Ida Bagus Sidharta Putra yang juga Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Kota Denpasar dan Ketua PHRI Denpasar mengatakan dengan tema besar The New Spirit of Heritage memantapkan diri untuk mengembangkan kegiatan ini lebih mengglobal. Sanur bakal menyiapkan infrastruktur promosi kepariwisataan terintegrasi untuk menggebrak pasar dalam menghadapi persaingan destinasi dan kemasan pariwisata daerah atau negara lain yang kian sengit.

Tentang Tema Tat Twam Asi

Saya adalah kamu, kamu adalah saya.
Antara saya dan kamu sesungguhnya bersaudara.
Hakikat atman yang menjadikan hidup di antara saya dan kamu
berasal dari satu sumber: Tuhan.

Semangat kebersamaan dan rasa memiliki telah mengantar Sanur Village Festival (SVF) menjadi kegiatan komunal yang memberikan kemanfaatan nyata bagi warga dan sejumlah komunitas desa pesisir ini dan sekitarnya. Spirit kreativitas, motivasi, dan inovasi ala Sanur ini bakal terus dikembangkan untuk mewujudkan tatanan sosial dan budaya yang berkesejahteraan dan berkedamaian.

Perjalanan 10 tahun SVF  telah mewujudkan ciri khas warga desa yang dengan penuh rasa kekeluargaan, gotong royong (ngayah), metetulung, menjaga lingkungan, dan mewujudkan kenyamanan dalam suatu komunitas yang membanggakan. Inilah yang menjadi dasar panitia menetapkan tema “Tat Twam Asi” yang merupakan salah satu ajaran etika dan moral dalam agama Hindu, berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya “aku adalah engkau, engkau adalah aku”.

Filosofi universal ini mengajarkan empati yang sangat tinggi menyetarakan seluruh insan dalam suatu tataran. Masing-masing individu dituntut merasakan apa yang dirasakan orang lain juga kita rasakan. Begitu pula sebaliknya. Ketika kita menyakiti orang lain, maka diri kita pulalah yang tersakiti. Ketika kita mencela orang lain, maka kita pun tercela.

Untuk mengimplementasikannya, para pendahulu telah memberikan teladan hidup yang kini masih banyak dijadikan pedoman warga. “Tat Twam Asi” dalam tingkat pengejawantahan dalam perikehidupan sehari-hari di antaranya melalui asas suka duka (dalam kegembiraan dan kesedihan dirasakan bersama-sama); paras paros (orang lain merupakan bagian dari diri sendiri dan diri sendiri adalah bagian dari orang lain); salunglung sabayantaka (baik buru, mati hidup ditanggung bersama); asih, asah, asuh (saling menyayang, saling memberi dan mengoreksi, serta saling tolong menolong antarsesama makhluk hidup).

Spirit inilah yang ingin digemakan sehingga seluruh lapisan warga dapat mewujudkan rasa saling memiliki, menghargai, dan menjaga. Seperti halnya suasana desa ideal yang bersih, lestari, warganya hidup rukun, tenang, dan nyaman. Suasana ini tentu akan mendorong terciptanya kerja bernas yang melahirkan inovasi dan kreativitas tanpa henti.

Tema yang diangkat SVF kali ini ingin merangkum 10 festival terkahir dengan konklusi “Tat Twam Asi” yang diharapkan menumbuhkan empati, solidaritas, dan kesejajaran baik dalam menjalankan aktivitas dalam ruang lingkup kecil (pribadi dan keluarga) maupun dalam lingkungan sosial yang luas sebagai warga desa, kota, provinsi, maupun megara.

Tentu dalam pelaksanaan kali ini tetap berpegang pada potensi alam dan budaya yang ada, seperti tujuan utama festival sebagai respons atas peristiwa bom pada 2005 silam. Ketika itu Yayasan Pembangunan Sanur menggagas kegiatan untuk menghidupkan kembali serta mengangkat citra pariwisata Bali, dan Sanur khususnya, untuk bangkit dari keterpurukan.

Festival yang dihelat dengan profesional sejak 2006 itu tenyata bukan sekadar promosi pariwisata yang berdampak terhadap terdorongnya perekonomian setempat, tetapi juga menjadi ajang pengayaan keberagaman seni dan budaya, memperluasn ruang kreatif, sekaligus perayaan kehidupan masyarakat Sanur dengan segala keramahtamahan dan keterbukaannya. Dedikasi yang berawal dari tanggap darurat pascabom itu kini kian memposisikan Sanur yang memiliki daya saing di industri pariwisata. WID-MB