Budi Gunawan1

Jakarta (Metrobali.com)-

Posisi kepala Kepolisian RI akhirnya dijabat oleh pelaksana tugas setelah Presiden Joko Widodo memutuskan memberhentikan dengan hormat Jenderal Polisi Sutarman dan mengangkat Wakapolri Komjen Polisi Badrodin Haiti sebagai pengganti sementara.

“Bola panas” tentang jabatan kapolri tampaknya masih belum akan mendingin dengan keputusan tersebut. Presiden memutuskan menunda pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai kapolri, bukan membatalkannya.

Beberapa pihak menilai keputusan itu merupakan upaya untuk mendinginkan suasana, sebagian lagi mengapresiasi. Namun, sebagian lain menilai keputusan itu hanya akan menimbulkan “bara api” yang lebih besar bagi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

Direktur Institut Madani Nusantara Prof Nanat Fatah Natsir memuji keputusan Presiden Joko Widodo yang menunda pelantikan Komjen Polisi Budi Gunawan sebagai kapolri.

“Kebijakan yang diambil Presiden Jokowi tentang kapolri sangat tepat dan bijak. Presiden mendengarkan suara hati nurani rakyat,” kata Nanat Fatah Natsir.

Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu mengatakan dengan memutuskan menunda pelantikan Budi Gunawan, maka Presiden Jokowi telah “lulus dari ujian” yang sangat sulit.

Nanat mengatakan rakyat pantas kecewa dengan keputusan DPR yang menyetujui Budi Gunawan untuk menjadi kapolri menggantikan Jenderal Polisi Sutarman yang akan purnatugas sebagai perwira polisi pada Oktober 2015.

Mantan rektor UIN Bandung itu mengatakan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pejabat-pejabat negara yang menjadi tersangka korupsi mundur dari jabatannya.

Dia mencontohkan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Malarangeng dan Menteri Agama Suryadharma Ali di Kabinet Indonesia Bersatu II yang mengundurkan diri, setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

“Karena itu, aneh bila seorang tersangka kasus korupsi justru dipilih menjadi pejabat negara, apalagi kapolri. Bagaimana nanti masa depan penegakan hukum di Indonesia bila lembaga penegak hukum dipimpin tersangka korupsi?” tuturnya.

Sementara itu, terkait Jenderal Polisi Sutarman yang dicopot dari jabatannya sebagai kapolri, Nanat mengatakan Sutarman merupakan figur polisi yang jujur, sukses dan berhasil menunjukkan independensinya.

“Sutarman berani mengatakan tidak terhadap perintah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,” tuturnya.

Pembuktian KPK Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan Presiden Joko Widodo melempar “bola panas” ke KPK dengan menunda pelantikan Komjen Polisi Budi Gunawan, bukan membatalkannya.

“Kini ‘bola panas’ ada di KPK untuk membuktikan ketidakwajaran rekening Budi Gunawan. KPK harus bekerja keras untuk membuktikan dan menegakkan hukum,” katanya.

Ade mengatakan saat bertemu dengan Ketua KPK Abraham Samad, Samad menyatakan bahwa tersangka yang ditetapkan oleh komisi tersebut selama ini selalu terbukti bersalah dan tidak pernah lolos. Karena itu, kini KPK harus bekerja keras membuktikan penyelewengan yang dilakukan Budi Gunawan.

Menurut Ade, saling lempar “bola panas” dari DPR kepada Presiden hingga akhirnya ke KPK sebenarnya tidak perlu terjadi apabila sejak awal pemilihan kapolri meminta masukan dari KPK dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

“Namun, kini nasi sudah menjadi bubur. Yang penting saat ini semua pihak harus mendukung KPK dan menjaga agar tidak ada konflik antara KPK dengan Polri. KPK, Polri dan kejaksaan seharusnya sejalan dalam pemberantasan korupsi,” tuturnya.

Dukungan terhadap KPK untuk mengusut dugaan suap yang disangkakan kepada Budi Gunawan, kata Ade, juga harus diberikan oleh Presiden.

“Presiden jangan hanya melempar ‘bola panas’ dengan menunda pelantikan Budi Gunawan sebagai kapolri. Semua pihak, termasuk Presiden, harus mendukung KPK,” katanya.

Menurut Ade, dukungan semua pihak, termasuk dari Presiden, kepada KPK diperlukan untuk menjaga agar tidak terjadi konflik antara KPM dengan Polri.

“KPK, Polri dan kejaksaan seharusnya sejalan dalam pemberantasan korupsi,” ujarnya.

KPK VS Polri Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor mengatakan berkonflik dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak akan menguntungkan bagi Kepolisian RI.

“Polri tidak akan nyaman bila harus kembali berhadap-hadapan dengan KPK yang memiliki potensi untuk menyerang mereka. Plt Kapolri Komjen Polisi Badrodin Haiti pasti juga merasakan ketidaknyamanan itu,” kata Firman Noor.

Firman mengatakan KPK juga lebih memiliki modal berupa dukungan publik. Bila terjadi konflik, maka publik akan lebih mendukung KPK daripada Polri. Secara pendanaan Polri lebih memiliki modal, tetapi mereka miskin dukungan publik.

Karena itu, Firman menilai keputusan Presiden Joko Widodo memilih Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas kapolri merupakan upaya untuk mereduksi kemungkinan konflik antara KPK dengan Polri.

“Selain itu, Badrodin tentu dinilai sebagai figur yang lebih bisa diterima oleh publik dan internal Polri. Presiden tentu mempertimbangkan hal itu,” tuturnya.

Terkait Badrodin yang juga disebut-sebut sebagai salah satu perwira polisi yang juga memiliki “rekening gendut”, Firman mengatakan sangat sulit bila harus mencari figur yang benar-benar bersih.

“Saya pikir perwira-perwira yang sudah menyandang bintang di pundaknya biasa seperti itu. Kalau ingin perwira seperti Pak Hoegeng, (mantan Kapolri yang dikenal bersih) tentu sangat sulit. Mungkin hanya dia satu-satunya, tidak akan ada ‘Hoegeng’ yang lain,” katanya.

Menurut Firman, keputusan Presiden Jokowi soal penundaan pelantikan Budi Gunawan sebagai kapolri tetap berpotensi menimbulkan polemik.

“Keputusan itu hanya akan menunda polemik. Pada ujungnya tetap akan menjadi polemik bagi Presiden,” ujarnya.

Firman mengatakan Presiden berada pada posisi dilematis ketika harus memutuskan melantik Budi Gunawan atau tidak. Karena itu, Presiden kemudian berupaya membangun wacana yang lebih bisa diterima banyak pihak.

Menurut Firman, bila Presiden pada akhirnya memutuskan membatalkan pengajuan dan pelantikan Budi Gunawan sebagai kapolri, maka bisa dianggap tidak menghormati DPR yang telah menyetujui calon yang dia ajukan sendiri.

“Pilihan itu juga berpotensi akan berhadapan dengan banyak kepentingan di partai politik. Namun, bila Presiden memutuskan untuk melantik Budi Gunawan, itu pilihan yang lebih fatal dan bisa kembali memunculkan konflik ‘cicak dan buaya’,” tuturnya.

Terkait keputusan DPR yang menyetujui Budi Gunawan sebagai calon kapolri, Firman menilai hal itu merupakan langkah untuk mengembalikan situasi supaya lembaga legislatif itu tidak lagi disorot di panggung politik.

“Itu merupakan taktik untuk kembali melempar ‘bola panas’ ke Presiden. Memang keputusan itu dikecam oleh publik, tetapi bagi mereka itu lebih baik daripada ‘bola panas’ berlama-lama di DPR,” tukasnya.

“Diobok-obok” Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos menyatakan institusi Polri telah “diobok-obok” oleh kepentingan politik dan yang menjadi korban adalah Jenderal Polisi Sutarman dan Komjen Polisi Suhardi Alius.

“Hanya karena hasrat politik untuk mengusung calon Kapolri yang memiliki kedekatan pribadi dengan petinggi partai, maka institusi kepolisian ‘diobok-obok’,” katanya.

Bonar mengatakan Sutarman yang sebelumnya menjabat Kapolri seharusnya baru purnatugas sebagai perwira polisi pada Oktober 2015, sedangkan Suhardi yang sebelumnya menjabat Kabareskrim Polri merupakan perwira bintang tiga dari angkatan 1985 yang cukup berprestasi.

“Seharusnya Presiden Joko Widodo sesuai dengan semboyan ‘kepentingan politik saya berakhir ketika kepentingan negara dan bangsa ini bermula’,” tuturnya.

Karena itu, Bonar menyarankan kepada Presiden Joko Widodo untuk melupakan Komjen Pol Budi Gunawan, dan memilih perwira tinggi Polri yang lebih muda serta berdedikasi menjadi kepala Kepolisian RI.

“Langkah yang diambil Presiden Jokowi dengan menunda pelantikan Budi Gunawan untuk sementara akan mendinginkan suhu politik. Namun, dalam waktu dua bulan hingga tiga bulan lagi harus ada calon baru kapolri yang diajukan,” katanya.

Bonar mengatakan di internal Polri masih banyak perwira tinggi yang lebih baik daripada Budi Gunawan, mengingat dengan menjadi tersangka kasus suap, Budi sudah seharusnya masuk “kotak”.

Menurut Bonar, politisasi pada institusi kepolisian merupakan satu hal yang menjadi kekhawatiran publik. Dia menilai, politisasi tersebut sangat tinggi terutama pada masa reformasi.

“Nilai-nilai profesionalitas kepolisian menjadi luntur karena intervensi politik. Bahkan seorang perwira polisi merasa perlu mendapat dukungan politik apabila ingin promosi atau kariernya menanjak,” ujarnya lagi.

Sementara itu, Ketua SETARA Institute Hendardi mengatakan Plt Kepala Kepolisian RI Komjen Polisi Badrodin Haiti harus berupaya memulihkan kepercayaan publik kepada Korps Bhayangkara setelah mengalami demoralisasi akibat ketegangan yang disebabkan polemik calon kapolri.

“Dalam jangka pendek, Badrodin harus melakukan konsolidasi internal setelah ketegangan yang terjadi,” kata Hendardi.

Dia menilai keputusan Presiden Joko Widodo yang menunda pelantikan Komjen Polisi Budi Gunawan sebagai kapolri merupakan jalan tengah yang konstruktif untuk menyelamatkan institusi Polri.

“Pilihan untuk menunda juga merupakan cara untuk menghormati Budi Gunawan yang akan menjalani proses hukum dan mengedepankan asas praduga tidak bersalah,” tuturnya.AN-MB