Keputusan Panja Baleg DPR menaikkan batas usia minimum kawin bagi perempuan menjadi 19 tahun, sama dengan batas untuk laki-laki, Kamis (12/9) diapresiasi oleh banyak pihak. (Foto: ilustrasi). (Foto: ilustrasi).

Panitia Kerja (Panja) Badan Legislatif (Baleg) DPR resmi menaikkan batas usia minimum kawin bagi perempuan menjadi 19 tahun, sama dengan batas untuk laki-laki. Kelompok sipil mengapresiasi putusan ini sembari menitipkan beberapa pekerjaan rumah. Wartawan VOA Rio Tuasikal mengunjungi Indramayu, Jawa Barat, kota dengan angka tinggi perkawinan anak.

Keputusan menaikkan batas usia minimum kawin bagi perempuan menjadi 19 tahun itu diambil Baleg DPR dalam rapat membahas peninjauan kembali UU no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Kamis (12/09) siang. Sebelumnya, batas minimal usia perkawinan bagi perempuan adalah 16 tahun. Dari 10 fraksi di DPR, delapan fraksi setuju 19 tahun. Hanya fraksi PPP dan PKS yang meminta 18 tahun.

Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menyambut keputusan itu dan menyatakan negara telah memenuhi kewajibannya melindungi hak anak-anak.

“19 tahun itu mereka sudah lulus SMA gitu kan. Jadi wajib belajar 12 tahun sudah selesai. Mereka nggak anak-anak lagi,” ujar Sekretaris KPI Jawa Barat Darwinih kepada VOA.

Selain itu, DPR juga menetapkan dispensasi usia kawin dapat diajukan ke pengadilan dalam keadaan yang sangat mendesak disertai bukti-bukti. Dalam memutuskan dispensasi itu, pengadilan wajib mendengarkan kedua calon mempelai guna menghindari kawin paksa.

Upaya menaikkan batas usia perkawinan sudah berjalan sejak 2015. Saat itu, koalisi masyarakat sipil mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi namun gagal. Baru pada 2018, setelah uji materi kedua kali, MK mengabulkan gugatan.

Perkawinan anak masih marak terjadi di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017 menunjukkan perkawinan anak terjadi merata di seluruh provinsi di Indonesia, dengan jumlah persentase perempuan berbeda-beda. Angka tertinggi terjadi di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah dengan 39 persen, sementara yang terendah di DKI Jakarta dan Yogyakarta dengan 11 persen. Jawa Barat ada di posisi 22 dengan angka 27 persen.

KPI Sasar Regulasi Nasional sampai Desa

Selain di tingkat nasional, KPI tengah mendorong berbagai regulasi yang menghentikan perkawinan anak di tingkat provinsi, kabupaten, sampai tingkat desa.

Warga Indramayu, Jawa Barat, menunjukkan gestur "stop kawin anak" saat ditemui VOA, awal September. (VOA/Rio Tuasikal)
Warga Indramayu, Jawa Barat, menunjukkan gestur “stop kawin anak” saat ditemui VOA, awal September. (VOA/Rio Tuasikal)

Di tingkat daerah, KPI Jawa Barat meminta batas usia dimasukkan dalam revisi Perda Jabar nomor 9 tahun 2014 tentang Ketahanan Keluarga.

Hal yang sama juga didorong di tingkat kabupaten bahkan tingkat desa di Indramayu, Jawa Barat, yang mencatat angka tinggi kasus kawin anak.

“Alhamdulillah mereka (kelompok perempuan Indramayu) sudah ada 15 surat edaran yang akan didorong ke Perdes,” jelas Darwinih lagi.

Pemerintah Harus Selesaikan Faktor Pendorong

Di samping merevisi regulasi, pemerintah diharapkan menyelesaikan faktor lain yang mendorong kawin anak.

Sekretaris KPI Indramayu, Yuyun Khoerunnisa, mengatakan salah satu faktornya adalah minimnya akses pendidikan. Di Indramayu, ada beberapa daerah yang tidak memiliki SMP atau SMA. Akibatnya, banyak yang memilih putus sekolah dan langsung menikah.

“Akses ke sekolah, satu, tidak hanya jaraknya yang jauh. Tapi akses perjalanannya juga susah. Sehingga ketika putus sekolah, ya apa yang dilakukan kalau tidak menikah?” ujarnya.

Di sisi lain, faktor ekonomi juga turut memberi andil. Yuyun mengatakan pemerintah harus meningkatkan taraf ekonomi warga sehingga tidak terjebak pada perkawinan anak.

“Karena faktor ekonomi yang kemudian masih banyak anak-anak yang dikawinkan di bawah umur. Kemudian memang ada banyak faktor. Tapi faktornya memang rata-ratanya ekonomi,” jelasnya lagi. [rt/uh] (voa)