Denpasar, (Metrobali.com)-

Ditengah suasana waspada Pandemi Covid-19, sebuah Surat Permohonan Perlindungan Hukum dari Solidaritas Bali untuk Keadilan (SABUK) terkait kasus yang membelit Nyoman Dhamantra, mantan anggota DPR RI asal Dapil Bali, yang ditujukan kepada Presiden, Bapak Ir. H. Joko Widodo, cq. Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Bapak Nendral (Purn) Moeldoko, yang disampaikan melalui Pos dan Email.

Dalam surat yang tertera tanda tangan anggota SABUK itu, diungkapkan mengenai nasib Nyoman Dhamantra yang tersangkut kasus RIPH/SPI bawang putih, atas rekayasa orang-orang yang mengaku-ngaku sebagai kepercayaannya, seperti tertuang dalam Surat Terbuka Kepada Presiden RI dari saudara Elviyanto.

Thomas Henry, Koordinator SABUK menenggarai bahwa kasus yang membelit Nyoman Dhamantra adalah bentuk ‘pisuna’ (Bali), atau fitnah dan kriminalisasi yang dilakukan kelompok tertentu, dengan menggunakan tangan tak kelihatan di KPK.

Baca Juga : Surat Terbuka Elviyanto Untuk Presiden RI Terkait Kasus Bawang Putih

“Kasus ini terjadi menjelang akhir masa jabatan sebagai wakil rakyat periode kedua (2014-2019), dan diungkap menjelang pelaksanaan Konggres PDI-P, Sanur, Bali, Agustus tahun 2019. Patut diduga, rekayasa kelompok tertentu dengan menggunakan KPK dan dikesankan terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT),” ungkap Thomas, dalam surat tersebut.
Melalui SPPH itu, segenap eksponen SABUK meminta perhatian Presiden agar mau mencermati kasus terkait. Sebab, kasusnya juga berujung terhadap kemenangan Jokowi sebagai Presiden di Pemilu 2019. Mengingat, Konggres PDIP diselenggarakan untuk mendukung pemerintahan Jokowi periode kedua (2019-2024), dan sekaligus mengantisipasi perlawanan para pihak penolak hasil Pilpres 2019.
Dalam pencermatan SABUK, selama menjadi Anggota DPR (dua periode), Nyoman Dhamantra termasuk katagori berintegritas, atau bahasa lain, “yang baik dan benar”.

“Telah berusaha untuk memuluskan apa yang menjadi keinginan/aspirasi masyarakat dengan program pemerintah, khususnya di Bali, seperti penguatan pasar rakyat, UMKM dan lembaga keuangan mikro/LPd. Termasuk revitalisasi Pasar Kumbasari, Denpasar paska kebakaran, yang diresmikan pengoperasan kembali oleh Presiden Jokowi, saat pembukaan Pesta Kesenian Bali, 2019. Sekaligus memberikan kritik dan masukan kepada Presiden, terkait proyek kontroversial di Bali, seperti Surat Kepada Presiden terkait penolakan rakyat Bali atas Reklamasi Teluk Benoa”, kata Jonantara, menambahkan (Copy terlampir).

Di akhir suratnya, SABUK menyinggung jika kasus yang membelit Nyoman Dhamantra saat ini mungkin implikasi dari keterlibatanya dalam aksi Bali Tolak Reklamasi, dan atau pencalonan/pemenangan Jokowi di Pilpres 2019 di Bali. SABUK menenggarai ada pihak-pihak yang sakit hati dengan kian menguatnya aksi BTR, dan sekaligus kemenangan Jokowi tersebut.

Baca Juga : Surat Nyoman Dhamantra ke Presiden RI Soal Reklamasi Teluk Benoa

Oleh sebab itu, dapat diyakini bahwa ujung dari peristiwa fitnah dan kriminalisasi ini adalah untuk merusak citra pribadinya, dan wibawa kepemimpinan Bapak Presiden saat ini dan di masa yang akan datang. Padahal, apa yang dilakukan Nyoman Dhamantra sangat berarti bagi rakyat Bali khususnya, dimana dengan adanya pembebasan pajak bagi LPD, tersedia ‘dana darurat’, seperti kini dibagi-bagikan kepada warga terdampak pandemi Covid-19.

“Kami mohon perhatian khusus Bapak Presiden, mengingat peristiwa yang menimpa diri Nyoman Dhamantra ini mungkin saja bermuara pada keputusanya mendukung Paket Jokowi-Amin untuk Pilpres 2019. Oleh sebab itu, dapat diyakini bahwa ujung dari peristiwa fitnah dan kriminalisasi ini adalah untuk menggagalkan kepemimpinan Presiden, sekarang maupun di masa-masa yang akan datang,” ungkapnya, dalam SPPH termaksud,” tegas Jonantara.

Terakhir, eksponen SABUK meminta agar Bapak Presiden RI memberikan perlindungan dan pengayoman hukum terhadap Nyoman Dhamantra, selaku pribadi dan warga masyarakat.

“Kami mohon pengayoman dan perlindungan hukum dari Bapak Presiden, selaku Panglima Tertinggi dalam penegakan hukum di negara yang kita cintai ini, terhindar dari pisuna, fitnah dan kriminalisasi,” tandas Thomas Henry, mengakhiri pernyataan.

Editor : Nyomann Sutiawan