Saat Pandemi, Trend Kembali ke Desa
Ilustrasi : Kelompok sadar wisata (pokdarwis) Desa Perean Kauh mulai mengejukasi petani untuk tetap memanfaatkan tanah pertanian sebagai sumber ekonomi dan potensi pariwisata alam. Poto/wa grup Pokdarwis Perean.
Oleh: I Gde Sudibya
Hampir satu tahun setelah pandemi Covid-19 pertama kali ditemukan di Wuhan Tiongkok, luas penyebaran dan jumlah yang positif terinfeksi dan angka korban kematian sangat luar biasa.
Dari laman Wikipedia, Minggu, 22 Desember 2020 sampai pukul 18.08 WIB rincian datanya seperti di bawah ini.
Jumlah terpapar di seluruh dunia: 55,6 juta, dengan angka kematian 1,34 juta.
Tiga negara dengan kasus tertinggi:
1.Amerika Serikat: 12,2 juta kasus, dengan angka kematian 256 ribu orang.
2. Brasilia: 9,1 juta kasus, dengan korban 133 ribu orang.
3. India: 6,05 juta kasus dengan korban 169 ribu orang.
Indonesia, sebagaimana dilaporkan Satgas Nasional Penanggulan Covid-19 berdasarkan data per 20 November 2020, kasus positif 488,310 orang, dengan korban 15,678 orang.
Jumlah terpapar di seluruh dunia: 55,6 juta, dengan angka kematian 1,34 juta.
Tiga negara dengan kasus tertinggi:
1.Amerika Serikat: 12,2 juta kasus, dengan angka kematian 256 ribu orang.
2. Brasilia: 9,1 juta kasus, dengan korban 133 ribu orang.
3. India: 6,05 juta kasus dengan korban 169 ribu orang.
Indonesia, sebagaimana dilaporkan Satgas Nasional Penanggulan Covid-19 berdasarkan data per 20 November 2020, kasus positif 488,310 orang, dengan korban 15,678 orang.
Sebagaimana banyak diberitakan dan juga diulas, pandemi ini berdampak luar biasa terhadap perekonomian dan kesempatan kerja. Resesi berlangsung di hampir seluruh dunia, angka pengangguran membubung tinggi secara global. Perekonomian yang sangat tergantung pada industri jasa, nyaris sempurna terhubung dengan sistem ekonomi global mengalami kontraksi ekonomi tertinggi dan paling menderita. Singapura, Perancis dan juga ekonomi Bali sekarang sangat mengalaminya.
Pada sisinya yang lain, dari sisi politik dan proses pengembangan demokrasi, tidak sedikit pengamat berpendapat di banyak negara terjadi resesi demokrasi dalam artian terjadinya proses pengambilan keputusan publik yang semakin mengabaikan aspirasi publik untuk bersuara dan berpendapat, yang kebebasannya dijamin konstitusi.
Tidak sedikit pengamat secara berkelakar berkata: kondisi kita dewasa ini bak ungkapan pepatah: ” sudah jatuh di timpa tangga “. Ekonomi tertekan, pengangguran terjadi, kesejahteraan masyarakat secara umum merosot, secara bersamaan ruang ekspresi publik cerdas dan sehat semakin terbatas. Beberapa UU yang lahir, dinilai jauh dari aspirasi kepentingan publik.
Pada sisinya yang lain, dengan lock down ( penguncian wilayah ) di banyak negara, PSBB yang membatasi gerak orang dan sumber daya, ada negara yang diperkirakan puncak pamdeminya belum terjadi, sedangkan di negara lain, beberapa negara di Eropa, memasuki pandemi gelombang ke dua, dengan terpapar lebih besar, kembali melakukan lock down dengan risiko ekonominya kembali mengalami tekanan.
Kembali ke Desa
Dalam ketidak-pastian global di atas: penanganan pandemi, kemerosotan ekonomi dan potensi kelabilan politik, jadi menarik untuk disimak gerakan atau lebih tepat keinginan manusia secara global untuk kembali ke desa dan atau keinginan untuk pindah ke kota-kota kecil, sebagai respons terhadap ketidak-nyamanan kehidupan akibat pandemi.
Dalam konteks ini menarik untuk disimak laporan Internasional Kompas ( 22/11 ) dengan judul: KOTA BESAR TIDAK LAGI MENYENANGKAN. Pandemi memaksa warga dunia beradaptasi dengan kebiasaan baru. Hidup di kota besar dianggap tak lagi menyenangkan dan banyak yang pindah ke desa.
Kompas dalam laporannya mengemukakan lebih dari 40 persen warga kota-kota besar Eropa mempertimbangkan untuk pindah ke desa atau kota kecil, setelah berbulan-bulan selama pandemi mengalami karantina dan pembatasan sosial. Perpindahan ke desa dan atau kota kecil yang membuat mereka lebih mudah untuk memperoleh akses ke ruang hijau, pertokoan dan fasilitas umum lainnya.
Survei oleh Upwork di California Amerika Serikat menunjukkan lebih dari 23 juta warga AS berencana pindah ke kota-kota kecil.
Demikian pula terjadi di India, dilaporkan kota-kota besar seperti New Delhi, Mumbai, juga mulai terlihat orang pindah ke kota-kota kecil atau pulang ke kampung-kampung halamannya. Fenomena yang sama juga terjadi di Jepang.
Kalau kita melihat pola migrasi penduduk dari desa ke kota sejak Pelita I, April 1969 dan Pelita selanjutnya, lanjut pasca reformasi, pembangunan ekonomi, proses indusustrialisasi dalam lima dasa warsa terakhir telah menarik secara massif tenaga kerja perdesaan ke wilayah-wilayah perkotaan.
Merosotnya ekonomi terutama di perkotaan akibat pandemi, sebagian besar tenaga kerja terutama yang informal ( berpendidikan dan berketampilan rendah) di sektor informal, diperkirakan juga mengalami semacam ” bedol desa ” berupa eksodus kembali ke desa.
Realitas Ekonomi Perdesaan Kita
Dalam trend orang kembali ke desa akibat pandemi Covid-19, realitas ekonomi perdesaan kita tidaklah mudah. Menyebut beberapa saja dari kondisi berat sturuktural dari ekonomi perdesaan secara umum:
1. Jumlah orang miskin dan rentan menjadi miskin tinggi, sebagai akibat dari rendahnya produktivitas dan tingkat ekonomi warga secara umum yang pas-pasan ( subsistence level ).
2. Dari data statistik memberikan indikasi, desa-desa kita bergerak menjadi pusat-pusat konsumsi meninggalkan ciri dasariahnya sebagai pusat-pusat produksi, yang memberikan penggambaran adanya persoalan serius dari sisi produksi, penerapan teknologi tepat guna, manajemen ekonomi pemerintahan desa, minimnya inovasi dan arah investasi di perdesaan. Di tambah lagi, ada kecendrungan laju inflasi di perdesaan lebih tinggi dari perkotaan.
3. Tampaknya belum ada upaya serius dari pemerintah nasional untuk melakukan terobosan besar di sektor pertanian, antara lain mencakup: pemberian subsidi dari sisi produk hasil pertanian para petani, kebijakan yang lebih mendasar dalam kebijakan perdagangan untuk memperkuat posisi tawar petani, kebijakan integratif affirmatif untuk pengembangan industri agro yang dapat mengungkit ekonomi rakyat termasuk di perdesaan.
1. Jumlah orang miskin dan rentan menjadi miskin tinggi, sebagai akibat dari rendahnya produktivitas dan tingkat ekonomi warga secara umum yang pas-pasan ( subsistence level ).
2. Dari data statistik memberikan indikasi, desa-desa kita bergerak menjadi pusat-pusat konsumsi meninggalkan ciri dasariahnya sebagai pusat-pusat produksi, yang memberikan penggambaran adanya persoalan serius dari sisi produksi, penerapan teknologi tepat guna, manajemen ekonomi pemerintahan desa, minimnya inovasi dan arah investasi di perdesaan. Di tambah lagi, ada kecendrungan laju inflasi di perdesaan lebih tinggi dari perkotaan.
3. Tampaknya belum ada upaya serius dari pemerintah nasional untuk melakukan terobosan besar di sektor pertanian, antara lain mencakup: pemberian subsidi dari sisi produk hasil pertanian para petani, kebijakan yang lebih mendasar dalam kebijakan perdagangan untuk memperkuat posisi tawar petani, kebijakan integratif affirmatif untuk pengembangan industri agro yang dapat mengungkit ekonomi rakyat termasuk di perdesaan.
Namun demikian perlu diberikan tambahan catatan, bagi petani yang memiliki luas lahan yang cukup, terkelola dengan baik, ethos kerjanya terjaga ( hemat dan bisa menabung, adaptif terhadap perubahan ) tetap mampu bertahan di masa pandemi, dan daya belinya menjadi salah satu sumber penggerak ekonomi perdesaan. Bersama dengan sektor-sektor lainnya: perdagangan, pengolahan dan jasa lainnya untuk memutar secara berkelanjutan ekonomi perdesaan.
Tantangan yang dihadapi oleh para pengambil kebijakan untuk mengatasi kendala struktural dan kultural dalam modernisasi perdesaan. Modernisasi pasca pandemi yang diharapkan terencana lebih matang di perdesaan, sehingga kemajuan ekonomi perdesaan terus bertumbuh, tetapi kelestarian alam dan juga budaya tetap terawat dan terjaga.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya adalah pemerhati masalah sosial dan kebijakan publik, tinggal di Denpasar.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.