RUU Provinsi Bali Disahkan, Peluang Kelompok “Kadrun” Mengatur Adat dan Budaya Bali
Ilustrasi
Denpasar, (Metrobali.com)-
Perda 4/2019 tentang Desa Adat seharusnya Dikoreksi lebih Dulu, untuk Menjamin Kemadirian Otentik Desa Pakraman, sebelum UU Pemda Bali yang Baru Dilaksanakan.
Dampak dari penerapan UU Provinsi Bali tersebut yang perlu dikaji agar tidak merugikan krama Bali. Jika sudah ada bantuan dari pemerintah daerah dan pusat, maka konsekuensinya jelas perangkat dan lembaga adat seperti subak, banjar adat, desa adat, balai banjar dan pengurus pengurusnya akan terkooptasi oleh kepentingan politik oknum oknum pemerintah daerah dan pusat.
“Dikasi cuan dan bantuan saja satu senjata yang cukup berbahaya melumpuhkan kemandiria adat dan budaya Bali. Dikasi bantuan pengurusnya, kan harus nurut pemerintah. Maka akan semakin hancurlah dresta Bali. Semakin banyak timbul masalah,” hal tersebut dikatakan pengamat Publik Jro Gde Sudibya, Rabu (5/04/2023) di Denpasar menanggapi atas disahkan RUU Provinsi Bali di Jakarta.
Sementara itu, menurut salah satu akun Netizen menyebut makin banyak lembaga tradisional Bali nyantol ke UU Pemerintah Pusat, maka Oposisi & Kadrun lebih Gampang Menangkap pelanggaran itu.
Menurut Jro Gde Sudibya RUU Provinsi Bali itu hanya sebatas lip servive menjelang pemilu, politik transaksional terselubung untuk meraup suara, tetapi lembaga-lembaga tradisional dan krama pengemponnya tetap merana. Mungkin, pengurusnya sedikit kecipratan remah-remah dan pengakuan sosial (palsu), tetapi seluruh krama Bali harus berjuang sendiri untuk bisa bertahan hidup.
Dikatakan, dana negara “diglontorkan” di tahun politik, pasca pemilihan, negara nyaris tidak hadir mencari solusi bagi masyarakat miskin, rentan menjadi miskin, buruh, tani, nelayan, pekerja srabutan, UMKM sebatas sekadar hidup (hidup segan, mati tak mau). Di sisi lain para penguasa dan inner circlenya, “berpesta pora” di atas derita rakyat, dari “menjarah” uang negara dari sistem yang di design untuk itu dan dan prilaku melanggar hukum, etika moral dan kepantasan sosial.
Ia mengajak warga Bali untuk lebih berhati- hati menjelang pemilu 2024. Ini jebakan batman. Jangan terlena dengan bantuan yang hanya dinikmati oleh elite. Pemilih harus semakin cerdas, untuk meminimalkan “lingkaran setan” kekuasaan yang korup, melahirkan kemiskinan kultural, struktutal yang lintas generasi.
Dikatakan, Desa Pakraman yang sekarang kembali disebut Desa Adat, adalah bentuk kompromi antara Mekele Gede sejebag Bali sebagai garda terdepan pelestari peradaban Bali Mula yang diwariskan oleh raja besar Bali Cri Aji Jayapangus dengan Mpu Kuturan Raja Kertha yang mewakili Raja Istri Gunapriya Dharmapatni, dalam Pesamuan Campuhan, yang lebih populer dengan Samuan Tiga.
“Kesepakatannya, kekuasaan kerajaan tidak memcampuri terlalu jauh, KEMANDIRIAN” Desa Pakraman, Banua, Tani, sehingga konsepsi Ketuhanan Tri Murti bisa diterima, dan penerapannya dalam bahasa sekarang manut Desa, Kala, dan Patra,” kata Jro Gde Sudibya mengingatkan.
Ia mengatakan, semestinya kesepakatan ini harus dilestarikan. KEMANDIRIAN Desa Pakraman dijaga tanpa intervensi (politik). Perda 4/2019 harus segera dikoreksi, Desa Pakraman yang memperoleh mandat dari pasal 18 UUD 1945 tidak boleh diintervensi, peran MDA sebatas tugas perbantuan dari kebijakan Pemda Bali menjalankan amanat konstitusi. Perda Desa Pakraman yang memberikan mandat setara antara: Klian Adat, Pekaseh, Bendega, yang memancarkan khasanah kekayaan budaya Bali yang dijiwai Agama Hindu, berkarma dalam kehidupan seimbang, berbasis tujuan hidup dan kehidupan CATUR PURUSHA ARTHA, Dharma, Artha, Kama dan Moksha. (Adi Putra)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.