Rubuhnya Garda Terdepan Konstitusi : Keputusan MKMK, 9 Hakim Langgar Kode Etik
Denpasar, (Metrobali.com)
Sembilan hakim MK dinilai melakukan pelanggaran kode etik dan prilaku hakim , dengan derajat pelanggaran yang berbeda-beda, meminjam judul cerpen sastrawan AA Navis “Rubuhnya Surau Kami”, menjadi Rubuhnya Garda Terdepan Konstitusi Kami.
Hal itu dikatakan Jro Gde Sudibya, aktivis demokrasi, anggota Badan Pekerja MPR RI 1999 – 2004, Selasa 7 November 2023 menanggapi putusan MKMK yakni Sembilan hakim MK dinilai melakukan pelanggaran kode etik dan prilaku hakim , dengan derajat pelanggaran yang berbeda-beda.
“Sulit kita membayangkan, Avant Gaarde Konstitusi rubuh secara etis dan moral, dalam dinamika politik ke depan yang punya potensi terjadinya:proses pembusukan politik dan proses demokrasi yang cacat,” kata Jro Gde Sudibya kepada metrobali.com.
Dikatakan, pemberian sanksi kepada hakim Anwar Usman sebatas pemberhentian sebagai Ketua Hakim MK dan dilarang menangani perkara sengketa, Pilpres, Pileg, Pilkada, dinilai publik yang punya akal sehat -public commonse sense-dinilai terlalu lunak, dan ada dugaan “masuk angin” terhadap dua hakim MKMK.
Dikatakan, keputusan MKMK ini mungkin dengan latar belakang “ewuh pakewuh” semangat korp, dan bisa juga dengan nuansa politis. Dari persidangan MKMK sejak awal, dari perspektif komunikasi politik, nuansa “bau” politis tsb.sangat terasa.
“Pakar komunikasi politik bisa mengulasnya dengan tajam, dari perspektif kepakarannya tanpa buruk sangka,” katanya.
Menurutnya, pernyataan MKMK dalam persidangan yang menyatakan: banyak terjadi pelanggaran etika di MK yang dibiarkan dan tidak diingatkan oleh sesama hakim, demikian juga perkara dengan konflik kepentingan yang dianggap biasa, membuat publik terkejut dan kemudian malu, akan rendahnya kualitas etika dan moral sebagian hakim yang menurut konstitusi mesti dengan kualifikasi negarawan. Kualifikasi negarawan mengalami degradasi makna di MK.
Menurutnya, penafsiran hakim MKMK tentang kemerdekaan hakim MK, MERDEKA dalam artian seluas-luasnya, dengan merujuk pasal UUD 1945 tentang kemerdekaan hakim, adalah sebuah tafsir yang berlebihan.
“Kemerdekaan itu dibatasi oleh etika, moral, kepantasan dari relung hati orang-orang dengan kualifikasi negarawan. Bukan sebaliknya dengan kemerdekaan tsb.sebagai tempat berlindung untuk menutupi kesalahan dan atau menggunakan secara tidak proporsional dan bahkan secara semena-mena,” kata Jro Gde Sudibya, aktivis demokrasi, anggota Badan Pekerja MPR RI 1999 – 2004.
Dikatakan, pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Prof.Dr.Bintan Saragih, yang mengemukakan alasan untuk menjaga keyakinan dan kredibitas intelektualnya, untuk memecat hakim Anwar Usman, mewakili akal sehat dan rasa keadilan publik.
Menurutnya, sejak awal publik telah berprasangka terhadap obyektivitas dan ketidak berpihakan dari anggota MKMK, karena penunjukan anggota MKMK melibatkan dan ditanda tangani oleh Anwar Usman sebagai Ketua MK, hakim yang paling banyak memperoleh sorotan dengan dugaan pelanggaran etika. Dalam bahasa sederhana, pemain yang diduga banyak melanggar ikut menentukan wasit. Ironi dalam penegakan konstitusi di negeri ini. (Adi Putra)