Ilustrasi

Denpasar, (Metrobali.com)

Diberitakan di medsos DPRD Bali dalam waktu dekat akan mengesahkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bali, untuk kurun waktu 20 tahun ke depan, 2023 – 2043.
RTRW merupakan dokumen pembangunan yang sangat penting, menentukan peruntukan wilayah: arah, besaran dan jenis investasi, dampaknya terhadap lingkungan, tingkat konversi lahan dari pertanian ke industri, model pengembangan perkotaan, relasi ekonomi perkotaan – perdesaan dan banyak.lagi isu-isu kritis lainnya.

RTRW adalah visi Bali dalam perspektif ruang dan implikasinya terhadap totalitas kehidupan masyarakat dalam artian: ekonomi, politik dan sosial kultural.
Visi, perspektif berpikir dan motif dalam perumusan Perda ini, akan menentukan kualitas produknya dan implikasinya terjadap prikehidupan masyarakat Bali ke depan.
Jika visi, perspektif berpikir dan motifnya, jangka pendek “siklus” 5 tahunan dan pragmatisme yang menyertainya, RTRW ini bisa menjadi ancaman bagi Bali ke depan dalam perspektif kepentingan kultural masyarakatnya.

Diperkiran dan bisa saja RTRW ini menjadi landasan dan pembenar dari model pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan tinggi, abai terhadap pemerataan dan punya potensi merusak lingkungan.

Akibatnya, pertama, konversi lahan pertanian ke industri dan pemukiman menaik tinggi di atas 2.000 ha per tahun, padahal dari pakar pertanian diperoleh informasi jika konversi lahan pertanian per tahun 2.000 ha, diperkirakan Subak akan “musnah” 10 tahun lagi, karena tidak ada lagi tanah pertanian basah yang bisa digarap Tentu ini, membawa implikasi serius terhadap ekonomi dan sosial kultural. Kedua, masyarakat lokal akan semakin terpinggirkan karena keterbatasan kemampuan saing dari sisi: teknologi, kemampuan organisasi dan akses pasar dari pendatang baru yang lebih kuat. Memang 1 – 2 tahun dalam pembangunan proyek, masyarakat pemilik tanah akan memperoleh “rejeki nomplok”, seperti warga Gunaksa dalam proyek PKB di Klungkung, dan masyarakat yang tanahnya kena jalur jalan tol Gilimanuk – Megwi, tetapi umumnya akan segera akan habis, sebagai akibat dari keterbatasan ketrampilan dalam merespons realitas baru.

Kalau realitas ini terjadi, RTRW 2023 – 2043 bisa menjadi sumber malapetaka bagi masyarakat Bali dari perspektif kepentingan kultural masyarakatnya.

Jika visi dan perspektif berpikirnya jangka panjang dan berempati pada kepentingan masyarakat Bali, untuk menjamin pembangunan Bali berkelanjutan – Bali Sustainable Development- ramah lingkungan, pertumbuhan ekonomi berkualitas untuk lebih menjamin pemerataan pembangunan dan distribusi pendapatan, dan menghindarkan masyarakat dari proses keterpinggiran budaya, kita boleh berharap RTRW ini bisa menjadi “pintu penyelamat” bagi Bali, dan memberikan harapan dan kesempatan bagi masyarakatnya untuk terus bertumbuh secara ekonomi dan sosial kultural.

Jro Gde Sudibya, ekonom, konsultan dan pengamat ekonomi.