Denpasar, (Metrobali.com)-

Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004  tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah- Daerah Tingkat I Bali, NTB dan NTT menggelar rapat perdana di ruang Badan Musyawarah (Bamus) DPRD Bali, Senin (27/7).

“Rapat itu untuk menyamakan persepsi antar-anggota Pansus soal substansi yang dikerjakan Pansus dan menyusun jadwal kerja Pansus,” kata Ketua Pansus Wayan Adnyana. Turut hadir dalam rapat itu Wakil Ketua DPRD Bali Nyoman Sugawa Korry yang merupakan koordinator Pansus tersebut.

Adnyana menjelaskan, beberapa agenda kerja Pansus ke depan. Pertama, Pansus akan melakukan kunjungan kerja (Kunker) ke Yogyakarta. Menurut Adnyana, pilihan melakukan kunker ke Yogyakarta karena daerah tersebut hampir memiliki kesamaan dengan Bali sebagai daerah yang menempatkan sektor jasa dan pariwisata menjadi lokomotif pembangunan di daerahnya.

Selanjutnya, Pansus akan menggelar seminar sehari untuk menggali masukan dari berbagai komponen masyarakat Bali. Rencananya seminar itu akan digelar saat memasuki pekan kedua bulan Agustus.

“Pembicaranya Gubernur Bali, pimpinan DPRD Bali dan pakar. Seminar itu akan diikuti anggota DPRD Bali, tim ahli gubernur, tim ahli DPRD Bali, SKPD di lingkungan pemprov Bali, LSM, seluruh rektor di Bali dan tokoh masyarakat,” jelasnya.

Usai seminar, Pansus akan membentuk tim perumus yang berjumlah lima orang, yang terdiri dari dua tim ahli gubernur dan tiga tim ahli DPRD Bali. Tim Perumus ini bertugas untuk merumuskan hasil seminar berupa pandangan dan masukan terhadap revisi UU 33/ 2004 dan UU 64/1958. Selanjutnya, Pansus akan mengundang seluruh anggota DPR RI dan anggota DPD RI asal Bali untuk dimintai masukannya terhadap rumusan yang telah dibuat tim perumus.

“Masukan anggota DPR dan DPD itu untuk melengkapi rumusan hasil seminar yang telah dibuat tim perumus,” ujarnya.

Agenda kerja selanjutnya, jelas Adnyana, rumusan terbaru yang dibuat tim perumus akan dilemparkan ke kabupaten/kota di Bali. Berikutnya, Pansus akan mengundang seluruh bupati/walikota dan perwakilan DPRD kabupaten/kota seluruh Bali. Hasil diskusi dengan bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota se-Bali akan dibuatkan rumusan final hasil kerja Pansus.

“Selanjutnya Pansus akan melaporkan di rapat paripurna untuk ditetapkan sebagai pokok-pokok pikiran DPRD Bali, untuk selanjutnya diserahkan kepada Pansus DPR RI yang melakukan pembahasan Revisi UU 33/ 2004 dan UU 64/1958 itu. Rumusan tersebut berupa masukan untuk bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam pembahasan revisi UU oleh DPR RI,” katanya.

Lebih lanjut Adnyana mengatakan, Revisi UU 33/ 2004 dan UU 64/1958 itu mendesak dilakukan, sebab saat ini dirasakan sangat tidak adil bagi Bali. Pasalnya, dana bagi hasil yang diterima daerah dari pusat hanya bagi hasil dana yang berasal dari sumber daya alam seperti hutan, gas bumi, minyak bumi dan sumber daya alam lainnya.

Namun Bali tidak mempunyai potensi itu. Di sisi lain potensi Bali ada pada sumber daya lainnya, yaitu jasa dan pariwisata yang menyumbangkan devisa sangat besar kepada pemerintah pusat namun tidak mendapat perimbangan pembangian dananya dari pemerintah pusat.

“Untuk itulah UU itu perlu direvisi agar Bali mendapat keadilan dalam skema perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah,” ujarnya.

Ia menjelaskan, dalam konsideran menimbang UU 33/ 2004 disebutkan bahwa UUD 1945 mengamanatkan diselenggarakan otonomi seluas-luasnya dalam kerangka NKRI. Bahwa hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan SDA dan sumber daya lainnya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dan antar Pemerintahan Daerah perlu diatur  secara adil dan selaras.

“Namun dalam batang tubuh UU itu, pada Bab VI pasal 10 menyebutkan, dana Perimbangan terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Pasal 11menyebutkan, dana bagi hasil bersumber dari pajak dan SDA.

Dalam batang tubuh itu tidak disebutkan Sumber daya lainnya, sebagaimana disebutkan dalam konsideran menimbang UU itu. Kita mendorong dalam revisi UU 33/ 2004 agar mencantumkan sektor jasa dan pariwisata dalam sumber daya lainnya dalam batang tubuh UU tersebut sehingga Bali bisa mendapat keadilan perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, imbuhnya.

Menurut Adnyana, tidak hanya SDA yang harus dilestarikan melalui skema perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, tapi juga budaya. Khusus untuk Bali, pelestarian budaya menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Setiap tahun pemprov Bali menggelontorkan anggaran Rp50 Juta untuk setiap Subak, dan Rp200 Juta untuk setiap desa adat.

“Adat dan budaya yang dijual dalam pariwisata Bali yang telah menyumbang devisa puluhan triliun rupiah ke pusat. Jadi harus ada keadilan dana bagi hasil dari sektor Pariwisata yang salah satunya bisa dimanfaatkan untuk pelestarian budaya di Bali,” tegas Ketua Fraksi Demokrat DPRD Bali ini.

Sementara itu, terkait UU 64/1958 dinilai penting untuk direvisi. Menurut dia, keberadaan UU itu sudah tidak kontekstual. Potensi alam, lingkungan dan Sumber daya manusia di tiga provinsi, Bali, NTT dan NTB sudah berubah, sehingga tidak bisa diseragamkan dalam payung hukum yang sama. Diharapkan revisi UU itu akan mengatur pembentukan provinsi Bali terpisah dari pembentukukan provinsi NTT dan NTB.

“Sehingga ke depan aspek-aspek yang secara khusus menyangkut kepentingan provinsi Bali bisa bisa diatur dalam UU yang khusus mengatur pembentukan provinsi Bali,” pungkasnya.SIA-MB