Oleh: I Gde Sudibya

Hari ini rainan Anggarkasih Medangsia, sasih Kapat, Icaka 1942, 6 Oktober 2020, piodalan secara bersamaan ring Pura Goa Lawah, Pura luur Andakasa dan Pura Luur Uluwatu.

Lazimnya, dan sudah mentradisi, krama Bali berbondong-bondong untuk tangkil mebhakti manut karma dan swadharmanya. Karena CORONA, umat se dharma disarankan untuk ngaturang bhakti ngayeng dari Merajannya masing-masing, hanya  pengempon pengarep melakukan aci-bhakti, berdasarkan protokol kesehatan yang berlaku.

Dalam kosmologi ruang Bali, Bali yang disimbolikkan dengan Bunga Padma berkelopak 8, Pura Goa Lawah berada di Tenggara, di pinggir laut Samudra Hindia “madu muka” – nyaris “berhadapan” dengan Pura Luur Puncak Mundi, Nusa Penida. Pemujaan Tuhan sebagai Maheswara, simbolik Tuhan sebagai “energi gerak awal hidup dan kehidupan”.

Dengan pengurip 8. Pura luur Andakasa, di atas Bukit Andakasa, salah satu “jejer kemiri bukit” yang mencorong ke Samudra Hindia, pemujaan Tuhan Brahma, simbolik Tuhan sebagai ” energi peciptaan Alam Raya” beserta seluruh isinya.

Dengan pengurip 9. Melintas jauh ke Barat, Barat Daya ( Nreti ), Pura Luur Uluwatu, ” bertengger ” di atas Bukit Pecatu, berhadapan dengan Samudra Hindia, di kurun waktu tertentu dikenal ” ganas ” deburan ombaknya, ” berdekatan ” dengan Pura Geger dalam arah ruang yang sama. Pemujaan Tuhan Rudra, simbolik Tuhan dengan kekuatan maha dashyat menghancurkan kekuatan buruk dunia, untuk kemudian kembali ke keseimbangannya.

Dengan pengurip 3. Dalam putaran ruang Bali 360 derajat, kawasan: Pura Goa Lawah – Pura Luur Andakasa – Pura Luur Uluwatu, melingkupi ruang: dari Tenggara menuju ke Selatan dan lanjut menuju Barat Daya,  mencakup: 45 derajat + 45 derajat + 45 derajat = 135 derajat, setara dengan 37,5 % luas Pulau Bali.

Dari sedikit uraian di atas, memijam pesan moral dari Svami Vivekananda dalam serangkaian ceramahnya di AS yakni 127 tahun yang lalu, divinity of the nature – sisi Ketuhanan dalam Alam -, dan divinity of the people – sisi Ketuhanan pada insan-insan manusia, tidak hanya menjadi ajaran, keyakinan, tetapi menjadi realitas rokhani yang terbumikan bagi masyarakat Bali. Kalau realitasnya sekarang berbeda, adalah tantangan bagi masyarakat Bali untuk kembali ke ” porosnya “.

Refleksi Diri di Masa Corona

Corona, Pandemi Covid-19 berdampak luar biasa buat kehidupan masyarakat Bali. Dampaknya begitu nyata, risiko kesehatan, ekonomi yang merosot, hubungan kerja/sosial yang berubah dan ketidakpastian akan masa depan.
Dalam suasana ” ngayeng bhakti”ke 3 Pura di atas, rasanya pantas kita krama Bali untuk berefleksi pada beberapa sisi kehidupan.

1. Seberapa mampu kita selama ini: mulat sarira, melawan hempasan “gelombang” keras Sad Ripu dan Sapta Timira, sehingga lebih mampu memimpin diri sendiri, yang merupakan modal utama dalam menjalankan  dharma kehidupan.

2. Dalam realitas kehidupan dengan rata-rata pendidikan yang lebih baik, dan limpahan pengetahuan yang begitu mudah diperoleh, pantas untuk kita bertanya ke diri sendiri: apakah pendidikan dan pengetahuan yang kita miliki telah membuat kita menjadi lebih bijaksana dalam melakoni dan memaknai kehidupan ini? Sebagaimana kidung Sucita – Subudi di bawah ini:
” Kawikanan mamunahang, Pangering tambete sami,  Sekancan laraning jagat, Yadin mala ngebek gumi, Kawikanan ngelebur sami, Wireh wikane puniku, Panglukatan pabersihan, Miwah pengentase jati, Iku, tuhu, Sariran Sang Hyang Wisesa.

3. Dalam kehidupan dengan perubahan yang begitu dashyat, meminjam pendapat sejarahwan Harari dalam bukunya SAPIENS, pertumbuhan ekonomi telah menjadi agama baru, dengan tolok ukur dan tuntutannya: efisiensi, efektivitas, keuntungan, individualisasi dan bahkan individualisme, relasi berbasis motif keuntungan, kita pantas untuk bertanya: sudahkah kita memperkuat cita-cita hidup ini secara lebih benar, sehingga lebih mampu menghadapi hempasan gelombang yang begitu dashyat yang bisa menenggelamkan kita. Kita dapat merujuk ke cita-cita kehidupan yang termuat dalam Itihasa Ramayana, nasehat Rama kepada Wibisana, kedua sosok yang mensimbolkan Kebijaksanaan:
” Prihantemen, Dharma dumranang sarat, Seraga sang sadhu  Si Reka tutana,  Tan Harta tan kama, Pidonnya tan yasa,  Ya cakti Sang Sajnana, Dharma Raksaka.

Tentang Penulis

I Gde Sudibya, pengasuh Dharma Sala ” Bali Werdhi Budaya ” Rsi Markandya’ Ashram, Br.Pasek, Ds.Tajun, Den Bukit, Bali Utara.