Oleh: I Gde Sudibya

Hari ini, Selasa, 12 Januari 2021, Anggara Pon Klau, sasih Kepitu, Icaka 1942 merupakan rainan Siwaratri. Jika kita merujuk karya sastra Mpu Tanakung dalam Siwaratri Kalpa, penanggal pengelong ping empat belas nuju Tilem Kepitu, hari ini, merupakan bulan tergelap dalam satu tahun.

Bulan tergelap dimaknakan sebagai hari terberat dan tersulit dalam yasa kerthi dalam pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dalam perspektif relasi Bhuana Agung – Bhuana Alit. Jika di waktu terberat dan tersulit ini, kita mampu melakukan puja (baca: tapa, bratha, yoga, samadhi ), diyakini, pada rentang waktu yang lain, upaya pendekatan diri kepada Tuhan, akan menjadi lebih mudah dilakoni. Ini telah dibuktikan oleh pemburu satwa ( baca satva ) Lubdaka, yang tanpa sengaja melakukan tapa, brata, di atas pohon Bila di tengah danau, akibat ketakuan terhadap seekor Singa yang menunggunya di pinggir danau. Siwaratri Kalpa yang kaya makna.
Tantangan ke kinian dalam kehidupan.
Pandemi Covid-19 yang berlangsung hampir 1 tahun dengan seluruh implikasi yang dibawakannya: kesehatan, ekonomi, sosial politik, kebudayaan, telah membuka kotak pandora kehidupan manusia, yang dari perspektif Veda/Vedanta telah terjadi krisis kemanusiaan akut pada sebagian insan-insan manusia. Krisis kemanusiaan dengan ” dasa muka ” indikasi: semakin tidak mampu mengendalikan diri, bahkan secara sengaja mengamflifikasi/membesarkan ego/ahamkara dirinya. Pelanggarann etika, moral secara sengaja ” dinikmati “, nyaris tanpa rasa bersalah, dan rasa malu, dengan rasionalisasi: telah menjadi realitas umum. Terjadi pendangkalan kehidupan rohani yang luar biasa, di tengah semakin maraknya diskursus tentang: Tuhan, beserta simbol-simbol yang menyertainya, yang tidak ” tune in ” dengan realitas rohani dari pendakian spiritualitas. Krisis kemanusiaan personal ini,merambah dan kemudian terpancarkan dalam realitas sosial: kepemimpinan ( sebagian ) yang korup dengan pelanggaran etika yang vulgar dan bahkan banal, dengan seluruh konsekuensi kebijakan publik yang dihasilkannya. Pragmatisme dan prilaku transaksional dalam proses politik, premanisme dan prilaku politik krumunan dalam ” mosaik ” dalam pengelolaan kehidupan masyarakat.
Tantangan kepemimpinan diri.
Dalam perenungan diri: tapa, bratha, yoga, samadhi di hari Siwaratri ini, kita dapat diingatkan akan arti penting upaya berkelanjutan dari pengembangan kepemimpinan diri – self leadership -, dengan merujuk ke sejumlah pengetahuan inspiratif, menyebut beberapa diantaranya:
pertama, kemampuan untuk mengembangkan sikap Kenabian dalam diri, untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain, dalam istilah scholar: Sarvelli Radhakrshnan, Prefesor Filsafat Timur di Oxford University yang kemudian menjadi Presiden India: prophetic religion, sebagai bandingan dengan priestly religion, pengembangan kehidupan keagamaan dengan tuntunan para pendeta. Pengembangan prophetic religion: pengembangan realitas Atman dalam diri, penuntun untuk melihat realitas diri ke dalam, inner sight procesess , menstimulasi kecerdasan spiritual sebagai basis bagi pendakian rohani. Sehingga jika kita merujuk ke pemikiran Mahatma Gandhi: agama adalah realisasi, dipraktekkan dalam realitas keseharian kehidupan. Kedua, tetua di Bali mengajarkan dengan latar belakang tradisi agraris pertanian: dekat dengan Alam, merawat dan membangun harmoni dengan Alam, dengan ethos kerja yang terbukti tangguh. Pengendalian diri ketat Mulat Sarira, menuju ke kesadaran diri, Jagra, yang diyakini mengantarkan diri menuju Badra, ke Kerahayuan kehidupan. Proses kehidupan yang tenang, penuh ketenangan dalam kerja tanpa henti dalam memaknai kehidupan. Di bawah sadar Tetua Bali, terpendam spirit kuat untuk ” menang melawan kematian ” – Markandya -, melalui kerja dan prestasi nyata, menjaga dan merawat Alam dan membangun harmoni dengan Nya. Sikap optimis dan visioner dalam merespons tantangan kehidupan

Tentang Penulis

I Gde Sudibya, Ketua FPD ( Forum Penyadaran Dharma ), Denpasar.