korupsi

Jakarta (Metrobali.com)-

Istilah remisi bukanlah monopoli institusi hukum. Kata remisi juga digunakan oleh institusi keagamaan, khususnya gereja, untuk menunjukkan keringanan hukuman bagi pelaku kejahatan yang sudah menyesal dan melakukan amal sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh gereja.

Dua hal yang penting dalam proses keringanan hukuman itu adalah amal (perbuatan yang meringankan semasa menjalani hukuman) dan persyaratan yang ditentukan institusi yang berwenang.

Institusi yang berwenang dalam hal ini adalah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) karena membawahi seluruh lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia, tempat para narapidana alias warga binaan menjalani masa hukuman.

Kemenkumham juga yang berwenang mengatur memberikan keringanan hukuman, yaitu remisi kepada para narapidana. Aturan yang selama ini berlaku adalah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Di dalam Pasal 34 PP No. 28/2006, disebutkan bahwa setiap narapidana berhak mendapat remisi jika berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan. Khusus bagi narapidana tindak pidana terorisme, narkotika dan korupsi diberikan remisi apabila berkelakuan baik, telah menjalani satu per tiga masa pidana, serta memenuhi persyaratan melakukan perbuatan yang membantu kegiatan lapas. Remisi tersebut diberikan oleh Menkumham setelah mendapat pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan.

Namun, pada tanggal 12 November 2012 pada masa Amir Syamsuddin menjadi Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), pemerintah mengeluarkan aturan baru, yaitu PP No. 99/2012.

Perubahan tersebut adalah dengan menambahkan sejumlah syarat untuk mendapatkan remisi, yaitu pertama remisi dapat diberikan kepada narapidana yang berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan. Kedua, berkelakuan baik, yaitu tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu enam bulan terakhir dan telah mengikuti program pembinaan yang lapas.

Terakhir, ada aturan khusus pun diberikan bagi narapidana yang melakukan kejahatan luar biasa, yaitu tindak pidana terorisme, narkotika dan korupsi. Syarat yang dimaksud, yakni pertama bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya (justice collaborator) melalui pernyataan tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum, yaitu KPK, kejaksaan, maupun kepolisian.

Kedua, telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan (untuk narapidana korupsi) dan telah mengikuti program deradikalisasi (untuk narapidana terorisme); ketiga, secara khusus kasus narkotika, pemberian remisi hanya berlaku bagi narapidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun.

Aturan tambahan itulah yang ingin direvisi oleh Menkumham saat ini, Yasonna Hamonangan Laoly, karena menilai PP tersebut diskriminatif mengingat pemberian remisi kepada narapidana harus memperoleh persetujuan KPK atau kejaksaan sebagai pihak penyidik dan penuntut.

Alasan Kemenkumham “Saya berpendapat remisi untuk ‘extraordinary crime’ itu harus berbeda dengan pidana biasa,” kata Yasonna.

Yasona mengungkapkan bahwa filosofi pembinaan tidak lagi pembalasan maupun pencegahan, tetapi perbaikan tindakan sehingga bila seseorang sudah dinyatakan bersalah dan diputus pidana penjara, selesailah fungsi penghukuman dan beralih ke fungsi rehabilitasi atau pembinaan.

Staf Ahli Pelanggaran HAM Kemenkumham Ma’amun menyatakan syarat “justice collaborator” bagi pelaku korupsi adalah hal yang sulit dilakukan.

“Pasalnya, terpidana korupsi sulit mendapat persyaratan sebagai ‘justice colaborator’. Kalau dia tidak tahu (permasalahan suatu kasus korupsi), harus cari-cari kesalahan orang,” kata Ma’mun, Selasa (24/3), dalam diskusi di Sekretariat Indonesia Corruption Watch.

Peran “justice colaborator” tersebut menurut Ma’mun hanya dapat dilakukan pada saat penyidikan dan persidangan di pengadilan, bukan saat sudah berada di lapas.

“‘Justice colaborator’ sulit dilaksanakan (saat di lapas) karena adanya di penyidikan dan juga di pengadilan. Kalau, iya, dia dapat keringanan di pengadilan,” jelas Ma’mun.

Menurut Ma’mun, revisi dilakukan agar pemberian remisi hanya dilakukan oleh Kemenkumham tanpa ada keterlibatan lembaga hukum lain.

“Ada tidak di Undang-Undang Kejaksaan dan KPK ikut mengatur pemberian remisi? Kan tidak ada,” tambah Ma’mun.

Ia menjelaskan KPK dan Kejaksaan Agung hanya dilibatkan dalam tim pengamat kemasyarakatan selaku lembaga yang menangani kasus seorang terpidana, tetapi tidak diperkenankan turut campur dalam perihal pemberian remisi.

“Kami ini punya tugas masing-masing. Saling mengoreksi boleh, tetapi tidak intervensi,” ungkap Ma’mun.

Namun, sesungguhnya revisi PP tersebut pun sudah disetujui oleh Komisi III DPR RI. “Ini sebenarnya sudah disetujui di Komisi III,” kata Yasonna.

Bahkan, Komisi III DPR yang merekomendasikan revisi PP tersebut.

“Ya, (Komisi III) termasuk merekomendasikan itu. Komisi III juga berkunjung ke lapas saat reses,” kata Ma’mun.

Terkait dengan kekhawatiran pengurangan syarat untuk mendapat remisi dapat mengurangi efek jera, Kepala Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Akbar Hadi menyatakan bahwa efek jera itu terjadi pada tahap penyidikan, penuntutan, dan pengadilan, sedangkan saat menjalani masa pemenjaraan merupakan upaya rehabilitasi.

“Saat menjadi terperiksa, tersangka, tahanan, terdakwa, dan terpidana di sanalah efek jera berlangsung. Setelah hakim menvonis dan jaksa mengeksekusi, fungsi pembalasan atau penjeraan berganti menjadi fungsi rehabilitasi atau pembinaan,” kata Akbar.

Akbar menilai bahwa roh lembaga pemasyarakatan adalah menjadi lembaga remisi itu sendiri.

“Bagaimana seorang narapidana termotivasi untuk berperilaku ke arah yang baik bila tidak ada hadiahnya? Setidak-tidaknya apabila di depan petugas para napi akan mengikuti program dan taat aturan karena ada yang diharapkan, yaitu remisi,” ungkap Akbar.

Akbar juga beralasan pengurangan syarat remisi diperlukan karena kondisi lapas di Indonesia yang sudah kelebihan muatan.

“Lapas dan rumah tahanan yang sudah overkapasitas akan kewalahan. Bayangkan bagaimana kalau semua napi berperilaku buruk, tidak mau menaati semua aturan karena mereka berpikir tidak ada untungnya? Terbukti, kebijakan remisi cukup efektif meredam gejolak lapas dan rutan yang sudah overkapasitas,” kata Akbar.

Sanggahan KPK Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai bahwa alasan tersebut berbeda dengan semangat pemberantasan korupsi.

“Jika arah tujuannya (kebijakan pemberian remisi) agar semua narapidana diberi kesempatan yang sama dalam pemberian remisi, saya agak beda pendapat,” kata Pelaksana Tugas (Plt.) Pimpinan KPK Johan Budi pada diskusi Selasa (24/3).

Johan mengatakan bahwa terpidana korupsi melakukan kejahatan luar biasa dengan dampak luas sehingga tidak bisa disamakan dengan narapidana kejahatan biasa.

“Korupsi ini menyengsarakan masyarakat, dan dapat disamakan dengan pelaku kejahatan HAM. Kalau disamakan, sangat tidak adil dengan memberikan remisi kepada terpidana korupsi, narkoba, dan terorisme disamakan dengan maling ayam,” ungkap Johan.

Johan menekankan bahwa tujuan pemberantasan korupsi bukan hanya berupaya mengembalikan uang negara.

“Tujuan pemberantasan korupsi tidak hanya untuk mengembalikan uang negara, tetapi juga bagaimana untuk menimbulkan efek jera,” kata Johan.

Dengan demikian, bila PP tersebut direvisi dengan menyamaratakan semua narapidana merupakan kemunduraan dalam pemberantasan korupsi.

“Maksud menteri yang baru ini apa? Mengembalikan domain itu ke Kemenkumham saja atau maksudnya merevisi agar semua narapindana mendapat remisi? Kalau maksud Menkumham pilihan kedua, menurut saya kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi,” tambah Johan.

Menurut Johan, juga terjadi miskomunikasi antara KPK dan Kemenkumham.

“Ini ada miskomunikasi. Bagi KPK, remisi itu domainnya dari Kemenkumham, begitu juga saat jadi narapidana. Akan tetapi, dalam PP, ada mekanisme KPK dimintai rekomendasi. Apakah orang itu justice collabolator (JC) atau pelaku utama? Tidak hanya terhadap KPK, kejaksaan dan polisi juga ikut memberikan rekomendasi pembebasan bersyarat,” kata Johan.

Sementara itu, mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menyatakan bahwa hukuman bagi pelaku koruptor perlu dilakukan secara diskriminatif positif.

“Fakta menunjukkan terdapatnya jenis kejahatan khusus, misalnya terorisme dan korupsi. Untuk kejahatan ini, justru perlu didiskriminasi sebagai bentuk diskrimasi positif,” kata Busyro melalui pesan singkat.

Diskriminasi itu relevan karena korupsi adalah kejahatan yang merugikan rakyat banyak.

“Terminologi diskriminasi relevan untuk kejahatan dalam klasifikasi umum yang berlaku ketentuan kejahatan umum. Sifat, karakter dan dampak kejahatan korupsi yang semakin memakan korban pembunuhan pelan-pelan terhadap rakyat dan lumpuhnya fungsi lembaga-lembang negara, justru tidak mencerminkan nalar keadilan jika disamakan dengan pelaku kejahatan umum,” ungkap Busyro.

Artinya, pemidanaan bagi pelaku korupsi adalah hal yang wajar menurut Busyro.

“Dari teori pemidanaan diskriminasi adalah wajar. Maka, aneh jika pemerintah berkomitmen memberantas korupsi, tetap permisif dalam mengobral remisi untuk koruptor sebagai penjahat besar,” jelas Busyro.

Ia meminta agar pemerintah bertindak hati-hati sebelum memotong syarat remisi bagi koruptor.

“Agar menjadi kebijakan yang sistemik dalam memberi efek jera terhadap koruptor, pemerintah hendaknya berjiwa besar dan berhati-hati,” ungkap Busyro.

Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho berpendapat bahwa rekomendasi revisi terkait dengan pemberian remisi kepada terpidana korupsi sarat kepentingan partai politik yang berada di DPR RI karena banyak anggota DPR yang terjerat kasus korupsi di KPK.

“Di PDI Perjuangan ada Emir Muis, PKS ada Luthfi Hasan Ishaaq,” kata Emerson.

Apalagi, menurut Emerson, Presiden RI Joko Widodo dalam program Nawacitanya menyatakan berkomitmen untuk membangun politik legislasi yang jelas, terbuka, dan berpihak pada pemberantasan korupsi, penegakan HAM, perlindungan lingkungan hidup, dan reformasi penegak hukum.

“Dengan ketentuan di atas setidaknya dapat diartikan bahwa penyusunan perundang-undangan (termasuk dalam revisi peraturan pemerintah) selain terbuka juga harus berpihak pada upaya pemberantasan korupsi. Upaya melakukan revisi PP 99/2012 atau wacana melonggarkan pemberian remisi untuk koruptor justru dinilai sebagai bentuk keberpihakan terhadap koruptor,” tegas Emerson.

Menurut penelitian ICW pada tahun 2014 terhadap 395 perkara korupsi dengan 479 terdakwa yang telah diputus oleh pengadilan, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali (PK), menunjukkan sebanyak 372 terdakwa (77,6 persen) divonis dibawah empat tahun. Sedangkan rata-rata vonis untuk koruptor adalah dua tahun delapan bulan penjara.

“Dengan rata-rata hukuman yang ringan hanya dua tahun delapan bulan penjara ditambah dengan adanya remisi dan pembebasan bersyarat sudah dipastikan tidak akan memberikan efek jera untuk pelaku. Koruptor bisa bebas lebih cepat keluar dari waktu yang diputuskan oleh hakim. Ini tentu saja pesan yang buruk ke publik,” ungkap Emerson.

Publik jelas menantikan kepastian hukum yang dijanjikan akan hadir dalam pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, bukan janji surga bagi para pelaku kejahatan. AN-MB