Hari ini, Sabtu, Sabtu, 18 Januari 2025, raina Tumpek Wayang, momentum untuk berefleksi, tentang dharma kekuasaan untuk publik, Res Publica, kepentingan umum.

Dalam Itihasa Ramayana dan Mahabaratha berbahasa Jawa Kuno, sarat tentang nilai kepemimpinan, spirit dharma kekuasaan untuk kepentingan umum. Diulas oleh para pengawi tanpa henti, dengan penuh gairah, memberikan rujukan nilai kehidupan, bagaimana semestinya kepemimpinan dikelola dan kekuasaan diabdikan.

Kemudian menjadi rujukan nilai, standar etika moral bagi pemimpin dalam mengelola kekuasaan. Sebagai panutan dalam masyarakat dengan tradisi orientasi vertikal, nilai-nilai ini menjadi rujukan masyarakat umum, nilai yang menjadi rujukan publik.

Dalam realitasnya, terjadi kompleksitas di sini, dalam sebuah masyarakat yang sedang mengalami anomali, kekacauan sosial, dimana standar etika cendrung diabaikan, banyak dilanggar, tanpa rasa malu dan bahkan di sana-sini dipamerkan dengan rasa bangga.

Benar apa yang disampaikan oleh ekonom pemenang hadiah Nobel ekonomi tahun 1974 Gunnar Myrdal dalam bukunya “Asian Drama”, drama kemiskinan di Asia, negara lunak -soft state- yang bercirikan: lemahnya disiplin, lemahnya penegakan hukum, menjadi penyebab terjadinya kemiskinan akut massal di banyak kawasan Asia di masa lalu.

Antropolog ternama Prof.Kuntjoroningrat, menyebutkan sikap mental yang menghambat modernisasi masyarakat, menyebut beberapa, sikap: “aji mumpung”, sikap mental menerabas, ingin cepat dapat hasil dan kurang menghargai proses.

Hal yang sama disampaikan oleh wartawan senior Mochtar Lubis dalam orasi kebudayaannya beberapa dekade lalu di TIM Jakarta, tentang sifat umum manusia Indinesia: feodal, korup, munafik, tidak berani bertanggung-jawab. Pemikiran yang sampai hari ini tidak saja relevan, tetapi semakin penting untuk diungkapkan.

Pemegang kekuasaan, yang secara antropologi semestinya menjadi panutan, seharusnya menghindari jebakan karakter negatif di atas, kalau tidak ingin masyarakat yang dipimpinnya memasuki tubir jurang kehancuran. Sejarah selalu mengajarkan, masyarakat yang ditimpa krisis, cendrung menafikan dan menganggap tidak ada krisis ydm., sampai krisis begitu besar tidak terkendali, dan kemudian menggulung peradaban dan kebudayaan. Refleksi diri, kemampuan jujur menilai diri sendiri dan kemudian melakukan koreksi, menjadi semakin penting di zaman “edan” dewasa ini.

Jro Gde Sudibya, intelektual Hindu, penulis buku Agama Hindu dan Kebudayaan Bali.