Refleksi Raina Tumpek Landep, Ketajaman Kepemimpinan Memihak Kepentingan Rakyat
Foto : Oma Yusa
Penulis : Jro Gde Sudibya, intelektual Bali, bermukim di Desa Tajun, Kaja Kangin Bukit Sinunggal.
Hari ini, Sabtu, 22 Februari 2025, raina Tumpek Landep, raina yang direlasikan dengan ketajaman pikiran, ketulusan hati, “Penunggalan Bayu, Sabda, Idep” diharapkan menjadi lebih “metaksu” dalam menjalankan Dharma kehidupan.
Dalam refleksi raina Tumpek Landep hari ini, kembali diingatkan akan arti penting ketajaman kepemimpinan diri, terlebih-lebih kepemimpinan publik.
Sejarah kepemimpinan di Bali, begitu banyak “bertabur” cerita kepemimpinan tulus yang mengabdi kepada kepentingan rakyatnya. Menyebut beberapa di antaranya, sebagai inspirasi diri, insrument pengingat akan arti penting “bhadra winungu”, pengingat akan arti penting jalan keselamatan.
Raja Cri Kesari Warmadewa, penganut agama Budha, yang menerbitkan Bhisama di Besakih, salah satunya yang terpenting, dilarang menebang pohon lontar di kawasan Besakih dan sekitarnya. Bhisama yang mengandung pesan spitirualitas yang kaya, pemimpin berbasis spiritualitas. Dalam pandangan sang raja, pemimpin yang tidak bermanfaat buat rakyatnya, pemimpin yang “mati” dalam artian fungsi dan peran dalam menjalankan “dharma” kepemimpinan.
Cri Aji Jayapangus, pemimpin yang memberi catatan “emas” di era Bali Permulaan, dengan bhisamanya. Jika ada penduduk desa yang meninggalkan Desa karena kemiskinan, pemimpin desa Mekele Gede harus mempertanggung-jawabkan kepemimpinannya.Tanggung jawab moral spiritual ada di pundak sang raja. Dalam Prasasti Cintamani, raja melakukan pengaturan tata niaga perdagangan kapas, untuk melindungi kepentingan petani kapas.
Kepemimpinan di era Dalem Waturenggong, pada puncak keemasan kerajaan Gelgel. Diceritakan, terjadi keributan di pasar Gelgel, pada saat raja melakukan inspeksi, karena ditemukan seorang pencopet. Sang pencopet dipanggil raja, menghadap ke istana, karena raja terperangah dan sedikit masgul, dengan pertanyaan: kenapa kamu mrncopet?. Warga menjawab, karena bantuan sang raja tidak sampai di desanya yang jauh di pedalaman. Singkat cerita, Mekele Gede menghadap sang raja, mengakui kesalahan perbuatannya, karena warga ini sulit dijangkau, berada jauh di tengah hutan. Karena kealpaan ini, Mekele Gede mengundurkan diri sebagai pemimpin desa. Hamparan cerita, tentang pemimpin yang teguh hati menjalankan “dharma” kepemimpinan.