Refleksi Raina Tilem Kepitu, Anggarkasih Dukut, Dharma (Kewajiban) Pemimpin untuk Menjaga Tanah Air serta Merawat Ibu Pertiwi
Jro Gde Sudibya, intelektual Hindu, penulis buku Agama Hindu dan Kebudayaan Bali.
Dari kasus pemagaran laut sepanjang 30 km.di Teluk Jakarta di wilayah Tangerang Banten, diberitakan kasus serupa, mirip, “serupa tapi tak sama” terjadi di banyak belahan bumi Nusantara. Penjualan oleh tuan – puan penguasa terhadap: laut, kawasan pesisir, daerah sempadan pantai yang secara konstitusional tidak bisa dijual, dialihkan haknya dalam HBG, SHM dan bentuk pemindahan hak lainnya. Fenomena “penjualan” laut ini, merupakan pucak gunung es, sebut saja dalam 10 tahun terakhir, dari pengelolaan SDA yang amburadul dan tidak bertanggung-jawab, di sektor penambangan Batu Bara, Nikel. Demikian pula dalam pemberian konsesi HGU bagi industri sawit. Diberitakan secara luas terutama dalam 10 tahun terakhir, ratusan SIUP (Surat Izin Usaha Pertambangan) yang bermasalah: merusak lingkungan, meminggirkan jutaan warga masyarakat adat, menjadi “bancakan” korupsi skala raksasa bagi lapisan elite dengan kroninya Benar apa yang pernah disampaikan maha guru manajemen tingkat dunia Peter F. Drucker, kekayaan SDA bisa menjadi berkah atau kutukan. Berkah, jika dikelola dengan baik(“untuk kemakmuran sebesar-besarnya rakyar”). Menjadi KUTUKAN, jika salah kelola, lahan korupsi, alam rusak parah, masyarakat terpinggirkan, tetap miskin bahkan semakin dimiskinkan. Sejarah pahit di banyak negara di kawasan Afrika yang kaya SDA tetapi penguasanya super korup.
Banyak film Holywood, mengangkatnya ke layar lebar, dan “box office” di seantero jagat.
Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, jika menyimak pergulatan pemikiran para perintis bangsa, untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan (baca merebut tanah air, pertiwi negeri) dari kesewenang-wenangan penjajah. Perebutan tanah air, pertiwi negeri, dengan jiwa dan raga dan harta yang tidak terkira. Sehingga nasionalisme (paham kebangsaan), patriotisme (kecintaan pada negeri), “berurat, berakar”, membodi (embodied), merasuk ke relung batin para perintis kemerdekaan. Sekarang apa yang terjadi?. Tuan-puan penguasa generasi sekarang “menjualnya” ke sejumlah oligark, dengan tali temali kolusi kekuasaan yang menyertainya,dengan enteng, tanpa rasa malu dan rasa bersalah.
Ironi dan bahkan tragisnya, kekuasaan masa lalu yang mewariskan “mala petaka” penjualan tanah air, pertiwi ini, masih dielu-elukan oleh sebagian orang sebagai setengah “dewa”. Timbul pertanyaan kritis reflektif, jika para perintis bangsa punya kemampuan intelektualitas tingkat tinggi visioner dan bahkan dengan kualifikasi filosof. kok sekarang bisa jatuh terjerambab ke lubang (maaf) kedunguan berpikir. Atau jangan-jangan merujuk pemikiran pakar manajemen dunia di atas, Peter F Drucker. sebagian dari kita mengalami kutukan sejarah?.