Oleh : Jro Gde Sudibya

Minggu, 4 Agustus 2024, raina Tilem Kasa, sasih Kasa, Icaka 1946, berbarengan dengan “demam” politik di menjelang Pilkada Serentak 27 November 2024.
Dari Itahasa Ramayana dan Mahabaratha, umat Hindu dapat menimba pengetahuan tentang kepemimpinan kehidupan, tamsilnya bak “samudra” pengetahuan, “aliran pengetahuan”tanpa henti, tentang Dharma kepemimpinan: keberanian, viveka, kebijaksanaan kepemimpinan sebagai instrument utama penciptaan kesejahteraan rakyat. Nasihat Rama kepada Bharata, nasihat Rama kepada Wibisana yang terangkum dalam kepemimpinan ASTHA BRATHA, dialog Arjuna dengan Prabu Krishna yang merupakan “batang tubuh” dari BHAGAVAD GITHA, telah menjadi rujukan sastra dan bahkan rujukan rokhani dalam menjalankan Dharma kepemimpinan.
Tetapi fakta realitanya, di zaman Kali Yuga ini, tamsilnya “jauh panggang dari api” kepemimpinan riil yang terjadi dengan rujukan sastra di atas.
Dalam Pilkada Serentak, 27 November 2024, termasuk di Bali, muncul fenomena populisme politik untuk memenangkan kompetisi, dengan cirinya: pertama, perspektif kepentingannya jangka pendek sebatas siklus 5 tahunan. Akibatnya dalam konteks Bali, program pembangunan berdimensi jangka panjang: pengembangan kualitas SDM, penyelamatan lingkungan termasuk penyelamatan sistem Subak, design sistem transportasi komprehensif untuk mengurangi tekanan kemacetan, sistem pengelolaan limbah terpadu, cenderung dikorbankan, untuk kepentingan “proyek” karitas sosial dalam rangka pemenangan kompetisi.
Kedua, cara termudah dan termurah untuk memenangkan kompetisi, menggunakan isu SARA sebagai “dagangan” politik, yang bisa menjadi pemicu ketegangan sosial dan punya risiko terjadi polarirasi dan pengepingan sosial. Bali sebagai DTW dunia, industri pariwisata sebagai mesin pertumbuhan perekonomian Bali, sudah tentu dirugikan oleh persepsi negatif ini. Industri pariwisata memerlukan keamanan, persepsi rasa aman, kemudahan, kenyamanan dan “memorable experience” bagi wisatawan. Ketiga, menggunakan partai politik sebatas “tunggangan” politik sebagai pintu masuk membangunan nepotisme politik dan kemudian dinasti politik, melalui kepopuleran, favoritisme. Melahirkan bentuk baru feodalisme dengan modal demokrasi prosedural, yang pada hakekatnya mengkhianati proses demokrasi substansial. Feodalisme model ini, sangat berbahaya dalam proses demokrasi di Bali, yang punya akar sejarah feodalisme yang kental.
Populisme Politik, berbasis pragmatisme yang merupakan jebakan bagi kepentingan Bali dan masa depannya, karena tantangan urgen yang dihadapi Bali: penyelamatan Alam dan sistem Subak, pengembangan SDM berkualitas, penyelesaian kemacetan akut, hanya tinggal wacana, tidak lebih dan tidak kurang.
Populisme Politik yang semestinya diwaspadai oleh masyarakat pemilih, sebagai pemilik sah suara, sebelum melakukan pencoblosan di bilik suara, 27 Movember 2024.

Jro Gde Sudibya, intelektual Hindu, pembelajar berkelanjutan Itihasa Ramayana dan Mahabaratha.