Ilustrasi

Selasa, 17 September 2024, Raina Purnama Ketiga, Bulan Penuh sasih Ketiga Icaka 1946. Gerak Matahari yang menuju Utara -Ngutara Yana-, menuju Purnana Kapat, Bulan Kartika, yang diyakini sebagai waktu “terbaik” memuja Tuhan Wisnu Cri Narayana. Di sejumlah desa, dengan tradisi pemujaan Tuhan Wisnu yang lebih ketat, Purnama Ketiga nuju Tilem Ketiga, bermakna khusus, persiapan awal batin krama menuju “dauh” Nyumun Sari, tilem Ketiga, selama 15 hari, sampai puncak Raina Purnama Kapat. Rentang waktu “Nyumun Sari” yang kaya makna: “kerthi” pemujaan Tuhan Wisnu, yang memberikan vibrasi rasa: kesejahteraan, ketenangan, kedamaian, diyakini sebagai stimulasi dari para Ida Bhatara – Bhatari “sungsungan” bersama mengalami pendakian rokhani.
Upakara bermakna realisasi, realisasi diri dalam pendakian rokhani.
Upakara yang bermakna transformasi diri ini, menjadi sangat bermakna dalam realitas sosial yang begitu kumuh, buruknya penegakan etika publik dengan “centang perentang” sosial politik yang mengikutinya.

Etika Publik dalam kritik bernada satire: republik rasa kerajaan dengan cirinya: nepotisme, oligarki dan ambisi kekuasaan yang “malu-malu tapi mau” -hiden agenda.
Turunan sosialnya, berbentuk “dasa muka” salah guna kekuasaan, menyebut beberapa, pertama, KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang dashyat, dan nyaris tidak tersentuh hukum. Kedua, birokrasi yang nyaris perak poranda: jual beli jabatan, pemberian tunjangan prestasi tanpa prestasi, nyaris rusaknya iklim birokrasi yang sehat. Ketiga, alam yang rusak parah, akibat “pat gulipat” dalam pemberian perizinan dan meminggirkan masyarakat adat.
Dalam “centang perentang” persoalan ekonomi politik dan sosial ini, kepemimpinan semestinya menjadi pemberi solusi, bukan bagian dari persoalan dan bahkan pemicu utama persoalan.

Dalam konteks ini, menjadi menarik untuk disimak kembali karya sastra Sutasoma oleh Mpu Tantular, tentang sastra yang membebaskan manusia dari segala macam keterikatan, termasuk kemelekatan pada kekuasaan. Kepemimpinan sebuah sebuah “kesempatan emas”, menjalankan Dharma kepemimpinan untuk membebaskan rakyat dari derita kemiskinan dan membebaskan diri sang pemimpin dari keterikatan dunia menuju kebebasan rokhani.
Dalam Sutasoma, disebutkan tentang tuntunan etis kehidupan, tuntunan etis kepemimpinan diri, Pancasila Krama: tidak melakukan kekerasan (Ahimsa), tidak mencuri (Asteya), tidak iri dengki (Indria Nigraha), dan tuntunan etis lainnya.

Jro Gde Sudibya, Intelektual Hindu.