Jro Gde Sudibya

Kita hidup di Zaman Edan (Re.Jangka Jayabaya), yang menyampaikan “pewarah-warah”, “sopo sing edan orang keduman”, sak becika wong edan, pinih becik wong eling lan waspodo”. Di zaman edan siapa yang tidak edan, tidak kebagian, sebaik-baiknya orang edan, lebih baik orang yang sadar dan waspada. Ramalan masa lalu tentang masa kini, yang banyak benarnya, menggambarkan realitas sosial.

Bagi yang mereka menyimak Bhagavad Githa khususnya Bab Dua tentang Samkhya, sudah tentu memahami tiga karakter bawaan manusia,yang disebut dengan Tri Guna: Satvam, Rajas dan Tamas.

Fenomena sosial di hari-hari ini, perayaan bakti raina Purnama Kesanga menuju raina Galungan – Kuningan, ditandai oleh: nyaris “tenggelamnya” Budhi Satvam, Keluhuran Budi, kemuliaan Budi Pekerti, yang merupakan ciri alamiah rohani insan-insan manusia, dalam konteks teologi: Sat, Chit, Ananda, Om Tat Sat. Realitas pendakian rohani, yang kemudian kembali dibumikan dalam perilaku keluhuran budhi, kemuliaan kehidupan.

Tetapi fakta personal dan juga sosial, karakter “budhi satvam” ini, nyaris “ditenggelamkan” oleh tabiat Tamasika, yang bercirikan: kemalasan kebodohan, kemasabodoan (ignorance) dan ciri-ciri lain dari dari sikap mental menerabas dan merusak. Tamasika (yang tidak dikendalikan), melahirkan: ketamakan, kesombongan, praktek “tipu-tipu”, menghalalkan semua cara. Termasuk membangun kesadaran palsu, yang berlandaskan kebohongan dan pembodohan.

Dalam perspektif Veda/Vedanta, realitas di atas menggambarkan krisis kemanusiaan tingkat tinggi, yang sering diikuti dengan proses penghancuran diri -human self destruction-, dan kemudian proses penghancuran sosial -sosial self destructian-. Ironinya di tengah proses penghancuran ini, wacana tentang agama dan juga Tuhan semakin menjadi “mode” dan trend sosial. Wacana yang tidak lagi “metaksu”, “boro-boro” mencerahkan.

Oleh : Jro Gde Sudibya, intelektual Hindu penulis buku Agama Hindu dan Kebudayaan Bali.