Refleksi Raina Purnama Kepitu, Bali dalam Ancaman, karena Kapitalisme Pariwisata yang tidak Dikendalikan
Oleh : I Gde Sudibya
Hari ini, Selasa, 14 Januari 2025, raina Purnama Kepitu, Bulan Penuh sasih Kepitu, Bulan di “tengah” dalam perhitungan “ala ayuning dewasa” di Bali, dinilai tepat untuk melakukan refleksi terhadap isu “keras” yang dihadapi Bali.
Di tingkat permukaan yang kasat mata, yang telah menjadi “pergunjingan” publik, Bali sedang “tidak baik-baik saja”, sampah “menggunung”di banyak tempat, limbah plastik “menerjang” di sejumlah kawasan laut dan pantai, banjir bandang “menerjang” di banyak tempat, kemacetan lalu lintas akut dengan sebaran yang semakin meluas, sehingga sebuah lembaga internasional pemeringkat “world tourist destination resort”, merekomendasikan Bali di tahun 2025 ini, sebagai tempat wisata yang tidak layak untuk dikunjungi. Indikator kesejahteraan yang tidak kalah memprihatinkan, jumlah kemiskinan absolut tinggi, termasuk di daerah “kaya” akibat pariwisata, seperti Gianyar. Angka stunting 26 persen, yang secara statistik berarti dari rata-rata 4 orang anak Balita satu menderita stunting. Angka gangguan mental tertinggi secara nasional, 34 orang per 1,000 penduduk, tingkat nasional 17 orang per 1,000 penduduk, dengan implikasi bawaannya yang sangat serius dari sisi kemanusiaan. Kerugian sosial kultural -social cultural lost- tidak terhitung, akibat “kekalahan” manusia Bali secara personal dan kemudian secara sosial, akibat “kekejaman” kapitalisme pariwisata. Dari perspektif kultural masyarakat Bali, kemanfaatan ekonomi yang diterima masyarakat lokal, tidak sebanding dengan “kekalahan” ekonomi dan sosial kultural. Ada upaya merasionalisasi rangkaian “kekalahan” ini, tetapi dari sisi etika dan moralitas intelektual, merupakan tindakan yang tidak terpuji.
Beberapa bentuk “kekejaman” dari kapitalisme pariwisata yang tidak terkendali, menyebut beberapa, pertama, terjadi proses “keracunan” berpikir, terutama di kalangan pengambil keputusan publik, kuasa modal, mendistorsi, merugikan kepentingan publik, yang merusak alam, lingkungan, dan membuat konversi lahan pertanian ke pemukiman dan industri tidak lagi terkendali. “Keracunan” berpikir ini, melimpah ke cara berpikir (mind set) masyarakat, untuk menjadi permisif, ikut memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, yang merusak sendi-sendi kehidupan bersama secara kultural. Kedua, pendekatan kuno pembangunan, developmentism, yang “memuja” pertumbuhan ekonomi, merusak lingkungan, meminggirkan masyarakat lokal secara ekonomi dan kultural, tetapi menjadi “proyek” membanggakan bagi elite yang tidak bertanggung-jawab. Ironinya, tetap dengan jargon-jargon (palsu), kelestarian alam dan budaya Bali dengan “mantra” Ajeg Bali. Ketiga, visi pembangunan Bali ke depan, mungkin dengan potensi ilusi bahkan delusi 100 tahun, tidak berpijak dengan realitas sosial yang ada, barangkali sekadar “proyek kejar setoran” yang bisa mengantarkan Bali ke proses “bunuh diri” secara sosial kultural dan bahkan ke wilayah sradha/keimanan. Mimpi buruk buat Bali kini dan masa depannya.
Mengingat tantangan dan bahkan ancaman di atas, sudah semestinya krama Bali, menjadi sadar diri, JAGRA, mengembangkan kecerdasan VIVEKA (kecerdasan pembeda dalam memilah Rwa Bhineda kehidupan), menyongsong risiko “Sandya Kalaning Bali”.
Penulis : Jro Gde Sudibya, intelektual Bali, pengamat tentang kebudayaan Bali dan masa depannya, penulis epilog dalam buku: “Baliku Tersayang, Baliku Malang” Potret Otokritik Pembangunan Bali Satu Dasa Warsa.